Selasa, 16 Januari 2018 saya membaca beberapa postingandi Facebook. Salah satunya tentang Rumah Cimanggis. Postingan menjadi menarik karena komentar Wakil Presiden, Bapak Jusuf Kalla, yakni "Rumah Cimanggis Milik Penjajah Korup, Masak Mau Jadi Situs?" Beberapa media juga membuat judul yang mirip.
Saya coba cari tahu tentang Rumah Cimanggis lewat buku Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta karangan A. Heuken. Disebutkan, Rumah Cimanggis terdapat dalam kompleks Radio Republik Indonesia (RRI). Rumah itu dibangun pada 1775-1778 oleh David J. Smith.
Menurut Heuken, dari sudut arsitektur Rumah Cimanggis merupakan contoh baik rumah tuan tanah abad ke-18 dengan atap yang tinggi lebar. "Rumah Cimanggis sepantasnya dipelihara sebaik-baiknya, karena tinggal dua-tiga rumah saja yang pernah berperan sebagai pusat usaha membuka hutan antara Jakarta dan Bogor pada abad ke-18," kata Heuken (halaman 294).
Rumah Cimanggis menjadi perhatian para pemerhati sejarah dan budaya karena di areal tersebut akan berdiri kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Ada desakan agar Rumah Cimanggis diselamatkan karena pernah dihuni oleh Gubernur Jenderal VOC Petrus Albertus van der Parra.
Yang menjadi perhatian netizen adalah komentar Pak JK. Antara lain, "Tidak ada yang pantas dibanggakan dari bekas bangunan rumah tersebut. Rumah itu rumah istri kedua dari penjajah yang korup. Masak situs itu harus ditonjolkan".
Sontak banyak komentar bermunculan. "Ngga kebayang kalau ada yang berpendapat dengan pola pikir seperti itu," kata seorang Facebooker.
"Laaaah kok gitu sih ngomongnya. Gak ada hubungan sama pejabat koruptor, tapi yang dilihat peninggalan budayanya," kata Facebooker lain.
Komentar Facebooker lain demikian, "Pak JK kalo pulang ke Makassar lihat Benteng Rotterdam ga? Itu yang buat penjajah korup loh. Mo dirubuhin juga?"
Nah ada lagi yang nimbrung. "Kalau menurut saya kata kuncinya 'korup'nya itu, bukan penjajahnya. Lah wong di LIPI juga banyak peninggalan kolonial dirawat dengan baik," kata seorang staf LIPI.
Prof. Mundardjito ikut memberikan komentar, "Pak JK tidak paham arti pelestarian".
Seorang arkeolog ikut menimpali, "Bapak pimpinan di negara ini musti belajar banyak hal. Karena Pak JK yang memimpin negara ini, maka harus tau apa isi semua di dalamnya. Sebagai yang tau, wajib untuk kasih tau. Masalahnya, mau gak orangnya membuka pikiran untuk dikasih tau".