Salah satu upaya menuangkan gagasan biasanya dilakukan dengan menulis. Menulis bertujuan memberi informasi dan edukasi kepada masyarakat. Tentu saja yang dimaksud di sini menulis dengan bahasa ringan. Biasa disebut bahasa populer atau bahasa koran.
Secara garis besar ada dua jenis tulisan, yaitu bersifat ilmiah dan bersifat populer. Tulisan ilmiah hanya bisa dicerna oleh kalangan terbatas. Soalnya tulisan ilmiah berisi banyak istilah teknis yang sulit dimengerti masyarakat awam. Singkatnya, tulisan ilmiah ditulis ilmuwan dan hanya dimengerti ilmuwan. Tulisan populer menggunakan bahasa umum dan tidak dipenuhi istilah teknis. Karena ringan, tulisan populer mudah dicerna masyarakat awam.
Tulisan ilmiah terdapat dalam jurnal yang terbit secara periodik, misalnya per tiga bulan. Buat ilmuwan, tulisan ilmiah cukup bergengsi. Apalagi jurnal tersebut sudah terakreditasi dan terindeks oleh lembaga internasional. Dengan demikian si penulis akan memperoleh angka kredit tinggi. Hanya tiras jurnal ilmiah agak terbatas mengingat jurnal hanya berisi pengetahuan tertentu.
Tulisan ringan atau populer biasanya dipublikasikan lewat surat kabar atau majalah. Sering kali tulisan populer dibuat oleh ilmuwan dengan fokus pada disiplin tertentu. Yang membedakan tulisan ilmiah dengan tulisan populer hanya gaya bahasa, tapi materi pokok yang ditampilkan cenderung sama.
Berkat tulisan populer---jelas karena tiras surat kabar atau majalah cukup besar---maka kita mengenal berbagai nama. Media cetak pun memberi sebutan kolumnis. Kolumnis yang saya kenal namanya berasal dari berbagai disiplin ilmu.
Di antara tulisan ilmiah dan tulisan populer, ada yang disebut tulisan semi ilmiah atau ilmiah populer. Biasanya tulisan-tulisan seperti itu terdapat pada majalah, misalnya Intisari dan National Geographic Indonesia. Di negara kita majalah ilmiah populer khusus secara periodik masih tergolong langka. Ada juga tulisan ilmiah populer pada rubrik-rubrik tertentu di koran.
Tulisan arkeologi
Sebagai lulusan arkeologi, saya menulis populer atau ilmiah populer sejak 1982. Tadinya saya menulis tentang arkeologi. Paling sekali-sekali dikaitkan dengan museum atau pariwisata. Namun lama-kelamaan saya juga menulis tentang sejarah, budaya, pendidikan, astrologi, palmistri, dan lain-lain yang saya anggap menarik di beberapa media cetak di Jakarta.
Namun sejak awal 2016 kreativitas saya boleh dibilang terhenti. Sejumlah media cetak terpaksa tutup karena kalah bersaing dengan media daring. Sebagian lagi melakukan penghematan, sehingga membatasi penulis luar. Sebagai ganti saya berharap ada beberapa media daring yang menerima tulisan dari luar.
Terus terang, menulis artikel belum menjamin kehidupan sehari-hari. Memang ada orang yang menggantungkan seluruh hidupnya dari honorarium menulis artikel. Tapi jumlahnya bisa dihitung jari tangan. Begitu pula sebagai penulis buku. Hanya segelintir orang yang mampu bertahan hidup dari menulis buku, itu pun kategori fiksi. Biasanya nama yang sering disebut J.K. Rowling dan Andrea Hirata. Berbeda dengan nasib penulis buku nonfiksi. Menyetak 1.000 eksemplar pun belum tentu habis dalam setahun.
Kembali ke menulis artikel, saya sendiri bukanlah orang yang produktif. Seingat saya, dalam sebulan paling banyak tujuh tulisan saya yang dimuat media cetak. Itu dulu. Bayangkan kalau saya bekerja penuh waktu sebagai penulis artikel. Berapa sih honorarium dari menulis. Beruntung kalau kita ikut lomba penulisan artikel dan mendapat juara.
Selain menulis, saya memiliki kebisaan lain. Dalam sebulan ada saja orang yang berkonsultasi tertulis astrologi dan palmistri kepada saya. Itu yang mendukung kehidupan saya.
Jelas, saya tidak bisa kaya materi dari menulis. Hanya nama saya dikenal luas, baik oleh kalangan arkeologi sendiri maupun kalangan luar. Apalagi saya memiliki blog arkeologi, blog museum, blog numismatik, dan blog astrologi. Belum lagi blog publik Kompasiana dan Indonesiana. Lewat blog arkeologi dan blog museum, sering kali orang bertanya, memberi informasi, bahkan memaki saya. Mungkin dianggapnya saya pegawai di instansi arkeologi. Tentu saja saya selalu merespon semua itu meskipun sebenarnya bukan pekerjaan saya.
Gerakan Menulis Arkeologi
Saya kurang tahu mengapa para arkeolog enggan menulis di media cetak. Sejak lama kelangkaan arkeolog penulis dirasakan sekali. Pada 1983 Mundardjito (pensiunan Guru Besar Arkeologi UI) pernah menulis di buletin Romantika Arkeologia, "Kenyataan telah menunjukkan bahwa sedikit sekali para ahli arkeologi menulis karangan ilmiah populer mengenai kepurbakalaan. Memang belum begitu jelas apakah para ahli itu tidak cukup mampu menulis karangan sejenis itu, atau ada semacam keengganan pada diri mereka, karena beranggapan akan memerosotkan erudisinya sebagai ilmuwan".
Yang jelas saya berusaha membangkitkan para arkeolog muda dan mahasiswa arkeologi lewat kegiatan GEMAR (GErakan Menulis ARkeologi) mulai 2016 lalu. Setiap tulisan ringan dengan bahasa populer yang saya anggap menarik, saya kasih hadiah buku. Semua atas biaya pribadi saya. Sekarang sudah ada beberapa orang yang bisa menulis ringan dan populer. Semoga keterampilan mereka semakin terasah. Saya hanya menanam bibit, instansi arkeologilah yang akan memetik hasilnya.
Arkeologi itu unik. Masa berlangsungnya kebudayaan manusia berlangsung amat lama, sejak ribuan tahun lalu. Juga tersebar di seluruh Nusantara yang begitu luas termasuk di dalam perairan. Tinggalan budayanya terdapat di pekarangan warga, di tengah sawah, bahkan di tempat terpencil. Untuk itu perlu tulisan yang gencar dan berkesinambungan agar masyarakat berapresiasi kepada tinggalan budaya masa lalu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H