Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengalaman Arkeolog: Disangka Menggali Harta Karun Hingga Terganjal Adat Setempat

26 Juni 2017   08:27 Diperbarui: 26 Juni 2017   21:47 1476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyeberangi sungai untuk mencapai lokasi penelitian di wilayah kerja Balai Arkeologi Maluku (Foto: Wuri Handoko)

Banyak orang awam menganggap pekerjaan arkeologi itu glamor. Ada juga yang bilang enak jalan-jalan mulu. Memang masuk akal kalau dikatakan glamor. Selama ini pemberitaan media hanya mencakup benda-benda temuan yang fantastik, unik, langka, dan tergolong luar biasa. Padahal sesungguhnya di mata arkeolog, semua data---baik berupa benda utuh maupun benda pecahan---tetap mengandung informasi untuk menguak masa lampau.

Pekerjaan yang khas dalam arkeologi adalah ekskavasi atau penggalian. Ekskavasi merupakan pekerjaan di lapangan. Sebelum ekskavasi terlebih dulu dilakukan survei. Selain di lapangan, arkeolog juga bekerja di kantor, antara lain untuk memasukkan data, menganalisis, dan menulis.

Seluruh kegiatan arkeologi bermuara untuk memberi informasi kepada publik. Memeras keterangan setuntas-tuntasnya dari setiap benda temuan itu. Informasi yang diberikan berupa tercetak dan terekam. Informasi tercetak berupa tulisan ilmiah dan tulisan populer, antara lain dalam jurnal ilmiah, majalah ilmiah, majalah populer, surat kabar, brosur, dan katalog. 

Sementara informasi terekam berupa film dokumenter. Benda-benda temuannya disimpan di dalam museum, untuk benda-benda berukuran kecil atau benda bergerak. Sebaliknya dibiarkan di lokasi dalam bentuk taman purbakala atau museum lapangan untuk benda-benda berukuran besar atau benda tak bergerak.

Informasi dari masyarakat

Arkeolog bekerja berdasarkan hipotesis, sumber-sumber tertulis, atau informasi dari masyarakat. Seperti yang dialami sejumlah arkeolog pada 1989 tentang adanya sebuah prasasti di atas sebuah bukit. Segera saja sejumlah dosen Jurusan Arkeologi UI bergerak ke daerah Bogor. Saya ikut di dalamnya sebagai tim peliput.  

Menyeberangi sungai untuk mencapai lokasi penelitian di wilayah kerja Balai Arkeologi Maluku (Foto: Wuri Handoko)
Menyeberangi sungai untuk mencapai lokasi penelitian di wilayah kerja Balai Arkeologi Maluku (Foto: Wuri Handoko)
Setelah numpang parkir mobil di pekarangan warga, kami lanjut berjalan kaki mendaki bukit. Jalan tanah tampak tidak mulus, apalagi ada tanda-tanda bekas hujan semalam. Licin dan becek. Hanya rasa penasaran kami yang mengalahkan kendala itu. Sekitar dua jam berjuang, kami berhasil menemukan prasasti. Lokasinya berada di areal milik PT Perkebunan.

Ternyata setelah diamati lebih lanjut, prasasti tersebut bukan prasasti baru. Namanya Prasasti Pasir Koleangkak atau Prasasti Jambu. Prasasti itu terletak di bukit Koleangkak di antara pohon-pohon jambu. Makanya kedua nama menjadi populer. Prasasti tersebut berkenaan dengan Kerajaan Tarumanagara. "Dulu saya berkunjung ke lokasi ini lewat jalur Sukabumi," begitu kata Ayatrohaedi. Anggota tim lain adalah Hasan Djafar, Edhie Wuryantoro, Agus Aris Munandar, Mahanizar Djohan, dan saya. Kami kecele. Uraian tentang Prasasti Koleangkak sebelumnya sudah ditulis oleh sarjana Belanda.

Begitulah kerja tanpa hasil. Kami pun hanya sempat foto-foto dan melakukan pengukuran ulang. Hanya bedanya dengan kondisi sekarang, dulu prasasti itu hanya dikelilingi pagar bambu. Demi pengamanan dari cuaca, sekarang sudah diberi cungkup. Turun dari bukit kami berjuang lagi. Masih licin dan becek.

Harta karun

Lain lagi pengalaman seorang rekan, Nurhadi Rangkuti. Ketika itu ia menjadi peneliti di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Sekitar 1990  ia melakukan ekskavasi di situs Lorongjambu, Palembang. Situs Lorongjambu merupakan situs permukiman masa Kerajaan Sriwijaya.

Kutil, begitu panggilan akrabnya, sempat berurusan dengan aparat keamanan. Pasalnya, ia dan timnya disangka sedang menggali harta karun. Meskipun ia memberikan penjelasan panjang lebar, namun tak digubris oleh aparat keamanan itu.  Kutil bersama sejumlah temuan arkeologi, dibawa ke markas Koramil di Palembang

Hampir seharian Kutil ditahan. Akhirnya kesalahpahaman selesai. Tuduhan sebagai penggali liar untuk mencari harta karun jelas tidak terbukti. Mungkin inilah kejadian amat sangat langka. Seumur-umur baru ada peneliti arkeologi ditahan karena ketidaktahuan aparat. Ironisnya, banyak penggali liar sesungguhnya di banyak daerah justru masih berkeliaran tanpa tersentuh tangan-tangan aparat.

Nihil karena adat

Ekskavasi di wilayah Kalimantan pernah gagal total karena terganjal adat setempat yang masih kental. Bambang Sugiyanto dari Balai Arkeologi Kalimantan Selatan pernah mengalami hal yang tidak mengenakan itu.

Setelah menyeberangi sungai, kini mendaki bukit untuk mencapai lokasi penelitian di wilayah kerja Balai Arkeologi Maluku (Foto: Wuri Handoko)
Setelah menyeberangi sungai, kini mendaki bukit untuk mencapai lokasi penelitian di wilayah kerja Balai Arkeologi Maluku (Foto: Wuri Handoko)
Suatu kali Balai Arkeologi Kalimantan Selatan hendak melakukan ekskavasi di wilayah Kalimantan Utara. Untuk mencapai lokasi tersebut diperlukan waktu tiga hari, yakni untuk penerbangan, jalan darat, jalan air, lanjut jalan kaki. Maklum lokasi ekskavasi jauh di pedalaman.

Ternyata setelah sampai di sana, ada keluarga suku Dayak yang baru berkabung. Menurut aturan adat mereka, dalam waktu tujuh hari masyarakat tidak boleh melakukan aktivitas. Akhirnya karena jangka waktu penelitian cuma 14 hari, ekskavasi urung dilakukan. Hasilnya yah nihil. "Itulah pengalaman kami. Bayangkan pesawat udara adanya dua kali seminggu. Jadi kami harus menunggu lama untuk pulang," kata Bambang.

Berbagai daerah mempunyai karaktristik berbeda. Peneliti di Balai Arkeologi Maluku harus lewat sungai dan mendaki bukit untuk sampai ke lokasi penelitian. Butuh waktu berjam-jam tentunya.

Begitulah pengalaman para peneliti arkeologi. Bekerja untuk mengungkap masa lampau dengan berbagai kendala.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun