Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengalaman Arkeolog: Disangka Menggali Harta Karun Hingga Terganjal Adat Setempat

26 Juni 2017   08:27 Diperbarui: 26 Juni 2017   21:47 1476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menyeberangi sungai untuk mencapai lokasi penelitian di wilayah kerja Balai Arkeologi Maluku (Foto: Wuri Handoko)

Kutil, begitu panggilan akrabnya, sempat berurusan dengan aparat keamanan. Pasalnya, ia dan timnya disangka sedang menggali harta karun. Meskipun ia memberikan penjelasan panjang lebar, namun tak digubris oleh aparat keamanan itu.  Kutil bersama sejumlah temuan arkeologi, dibawa ke markas Koramil di Palembang

Hampir seharian Kutil ditahan. Akhirnya kesalahpahaman selesai. Tuduhan sebagai penggali liar untuk mencari harta karun jelas tidak terbukti. Mungkin inilah kejadian amat sangat langka. Seumur-umur baru ada peneliti arkeologi ditahan karena ketidaktahuan aparat. Ironisnya, banyak penggali liar sesungguhnya di banyak daerah justru masih berkeliaran tanpa tersentuh tangan-tangan aparat.

Nihil karena adat

Ekskavasi di wilayah Kalimantan pernah gagal total karena terganjal adat setempat yang masih kental. Bambang Sugiyanto dari Balai Arkeologi Kalimantan Selatan pernah mengalami hal yang tidak mengenakan itu.

Setelah menyeberangi sungai, kini mendaki bukit untuk mencapai lokasi penelitian di wilayah kerja Balai Arkeologi Maluku (Foto: Wuri Handoko)
Setelah menyeberangi sungai, kini mendaki bukit untuk mencapai lokasi penelitian di wilayah kerja Balai Arkeologi Maluku (Foto: Wuri Handoko)
Suatu kali Balai Arkeologi Kalimantan Selatan hendak melakukan ekskavasi di wilayah Kalimantan Utara. Untuk mencapai lokasi tersebut diperlukan waktu tiga hari, yakni untuk penerbangan, jalan darat, jalan air, lanjut jalan kaki. Maklum lokasi ekskavasi jauh di pedalaman.

Ternyata setelah sampai di sana, ada keluarga suku Dayak yang baru berkabung. Menurut aturan adat mereka, dalam waktu tujuh hari masyarakat tidak boleh melakukan aktivitas. Akhirnya karena jangka waktu penelitian cuma 14 hari, ekskavasi urung dilakukan. Hasilnya yah nihil. "Itulah pengalaman kami. Bayangkan pesawat udara adanya dua kali seminggu. Jadi kami harus menunggu lama untuk pulang," kata Bambang.

Berbagai daerah mempunyai karaktristik berbeda. Peneliti di Balai Arkeologi Maluku harus lewat sungai dan mendaki bukit untuk sampai ke lokasi penelitian. Butuh waktu berjam-jam tentunya.

Begitulah pengalaman para peneliti arkeologi. Bekerja untuk mengungkap masa lampau dengan berbagai kendala.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun