Menurut pandangan saya Museum Kebangkitan Nasional paling rajin menyelenggarakan diskusi bulanan. Tema diskusi biasanya disesuaikan dengan peristiwa atau tokoh. Kali ini, tepatnya 6 Juni 2017, tema diskusi adalah Politik Kebangsaan Soekarno. Sengaja dipilih 6 Juni karena merupakan tanggal kelahiran Soekarno, Presiden pertama RI.
Sejarawan Peter Kasenda tampil sebagai pembicara pertama. Peter memang banyak menulis buku tentang Soekarno. Ia membawakan makalah berjudul "Membaca Ulang Teks Soekarno: Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme".
Terpenting dan terbesar
Di awal makalahnya Peter mengatakan di antara para pemikir modern Indonesia, Soekarno adalah yang terpenting dan terbesar. Bukan saja karena kualitas pemikirannya yang orisinal dan brilian, tetapi juga karena pemikiran-pemikirannya itu berhasil menjangkau jauh ke dalam masyarakat. Pemikiran-pemikiran Soekarno dituangkan ke dalam tulisan, yang berdampak permanen bagi kehidupan bangsa dan negara.
Menurut Peter, di penghujung 1926, beberapa bulan setelah menyelesaikan studinya di THS Bandung, Soekarno menulis dalam Soeloeh Indonesia Moeda, nama sebuah majalah milik Kelompok Studi Umum Bandung. Tulisan yang pertama berjudul "Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme".
Dalam tulisan tersebut Soekarno menegaskan, yang pertama-tama disadari adalah kenapa para kolonialis Eropa datang di Asia bukanlah untuk kewajiban luhur tertentu. Karena alasan ekonomi, berabad-abad bangsa Eropa menjajah Asia. Melalui kolonialisme bangsa Eropa memeras tenaga dan menguras kekayaan alam rakyat negeri-negeri terjajah demi keuntungan mereka. "Sebenarnya Soekarno sadar bahwa antara Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme terdapat perbedaan dan tekanannya masing-masing," demikian Peter. Meskipun demikian, menurut Soekarno sebagaimana dikatakan Peter, di antara ketiganya juga terdapat berbagai persamaan yang dapat dijadikan titik tolak untuk perjuangan bersama melawan kolonialisme dan imperialisme.
Selanjutnya Soekarno menyatakan, sebagai bagian upaya menentang kolonialisme dan imperialisme itu tiga kelompok utama dalam perjuangan kemerdekaan di Indonesia, yakni para pejuang Nasionalis, Islam dan Marxis, hendaknya bersatu. "Dalam persatuan itu, mereka nanti akan bekerja sama demi terciptanya kemerdekaan Indonesia," demikian Soekarno yang saya kutip dari makalah Peter itu.
Trisakti
Rieke Diah Pitaloka menjadi pembicara kedua dengan makalah "Pancasila Sumber Politik Kebangsaan Bung Karno 5 3 1". Maksud 531, kata Rieke, adalah 5 Sila (Pancasila sebagaimana yang kita kenal), 3 Sila (Sosio Nasionalisme, Sosio Demokrasi, dan Ketuhanan), dan 1 Sila (Gotong Royong). Bung Karno sendiri merupakan panggilan khas untuk Soekarno.
Sementara itu, menurut Rieke, tujuan Pancasila adalah trisakti. Istilah trisakti mengacu kepada pengertian berdaulat dalam politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan. Sayang trisakti, kata Rieke, belum memenuhi harapan. Salah satu contohnya, saat ini bahan baku industri masih berasal dari luar.
Rieke amat berharap jika hasil diskusi ini menjadi kegiatan politik. "Seharusnya tiap bulan Museum Kebangkitan Nasional menyelenggarakan diskusi. Pokok-pokok pemikiran Soekarno ada di dalam buku merah ini, antara lain tentang kebudayaan dan museum," kata Rieke.
Diskusi dibuka oleh Kepala Museum Kebangkitan Nasional R. Tjahjopurnomo. Peserta yang hadir sekitar 50 orang, terdiri atas komunitas, mahasiswa, guru, dan pemerhati. Acara diakhiri dengan doorprize buku-buku tentang Soekarno, dilanjutkan buka puasa bersama.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H