Setelah proklamasi kemerdekaaan 17 Agustus 1945 ternyata pemerintah kita belum memiliki mata uang sendiri. Mata uang resmi justru baru dikeluarkan pada 30 Oktober 1946, padahal dalam mata uang ORI (Oeang Repoeblik Indonesia) tersebut tercantum tanggal emisi 17 Oktober 1945.
Saat proklamasi kemerdekaan itu hanya uang kertas Jepang yang dinyatakan sebagai alat pembayaran yang sah di Indonesia. Walau demikian, mata uang pemerintah Hindia Belanda masih tetap beredar luas di kalangan masyarakat. Â Uniknya, uang pendudukan Jepang itu terdiri atas tiga jenis. Ada yang menggunakan bahasa Belanda, ada pula bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Ketiganya adalah De Japansche Regeering dengan satuan Gulden, Pemerintah Dai Nippon dengan satuan rupiah, dan Dai Nippon Teikoku Seihu dengan satuan rupiah.
Berlakunya ORI di seluruh Indonesia ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI tanggal 29 Oktober 1946. Sejak 30 Oktober 1946 pukul 00.00 itulah seluruh uang Hindia Belanda dan uang pendudukan Jepang ditarik dari peredaran.
Panglima Sekutu Sir Montagne Stopford pada 6 Maret 1946 mengumumkan bahwa hanya uang NICA yang berlaku sebagai alat pembayaran sah di wilayah pendudukan Sekutu. Agresi militer pertama Belanda 21 Juli 1947 secara formal memperluas wilayah peredaran uang NICA. Namun ORI tetap saja memasuki wilayah pendudukan Belanda. Kesulitan memang timbul untuk wilayah-wilayah tertentu, misalnya untuk membeli barang-barang impor.
Namun atas izin pemerintah pusat guna memecahkan dan mengatasi persoalan kekurangan uang tunai di berbagai daerah, terutama karena blokade pasukan Belanda itu, maka beberapa daerah menerbitkan mata uang sendiri. Uang ini dikenal dengan nama ORIDA (ORI Daerah), yang kemudian karena masalah ejaan diganti URIDA. Menurut catatan, URIDA banyak terbit di Pulau Jawa dan Sumatera.
URIDA pertama di Sumatera adalah URIPS atau Uang Republik Indonesia Propinsi Sumatra. Emisi pertama bertanggal 11 April 1947. Â Uang ini diterbitkan berdasarkan Maklumat Gubernur Sumatra Mr. Tengku Moehammad Hasan. Â URIPS dicetak di Pematang Siantar, lalu pindah ke Bukittinggi. Karena bersifat darurat, maka banyak pula wilayah di Sumatera yang mencetak dan mengedarkan URIDA, misalnya Aceh, Bengkulu, Jambi, Lampung, Nias, dan Tapanuli.
Jangka waktu berlakunya URIDA diatur oleh Menteri Keuangan. Unik pula, di sejumlah wilayah dikenal mandat dan coupon (kupon) penukaran, atau bon yang kedudukannya sejajar dengan alat pembayaran. Bahkan terdapat tanda pembayaran sementara yang dikeluarkan oleh komunitas pedagang Tionghoa Kecamatan Limapuluh, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara atas izin Dewan Perwakilan Rakyat setempat.
Diburu
Seiring berkembangnya kegiatan mengumpulkan koleksi mata uang lama atau numismatik, maka nama URIDA pun sempat naik. Â Uang dari masa revolusi fisik 1947-1949 itu banyak diburu karena unik dan langka. Meskipun bahan, desain, dan teknik pencetakan URIDA masih sangat sederhana, koleksi URIDA amat berperan untuk mengorek informasi sejarah pada masa itu.
Sekadar gambaran, banyak URI termasuk URIDA terbuat dari kertas singkong, kertas stensil, atau kertas roti. Belum lagi menggunakan tinta seadanya dan dicetak dengan perangkat kecil. Namun demikian peran URIDA untuk membela dan mengisi kemerdekaan RI sangat besar.
Ternyata upaya pihak penjajah untuk menyetop peredaran URI diantisipasi dengan peredaran URIDA. Namun, seperti halnya mengeluarkan URI palsu sebagai perang urat syaraf kepada pemerintahan republik, pihak penjajah pun banyak mengedarkan URIDA palsu. Tak dimungkiri, tujuannya adalah agar masyarakat marah kepada penguasa yang sah sehingga akan terjadi kegoncangan politik.
Kini, kalangan numismatis banyak menemukan URIDA palsu. Mereka memberi istilah old-fake (palsu lama) karena dipalsukan pada masa lalu untuk kepentingan politik antara dua penguasa, yakni Indonesia dan Belanda. Ada pula new-fake (palsu baru), pemalsuan pada masa sekarang untuk kepentingan ekonomi. Â Meskipun palsu, koleksi-koleksi itu tetap berguna. Uang ini bisa menjadi bahan perbandingan, terlebih dengan adanya produk-produk yang benar-benar dinyatakan asli.
Disayangkan banyak generasi sekarang di berbagai daerah kurang mengetahui adanya URIDA. Seharusnya uang lokal ini dikoleksi oleh museum-museum daerah. Kalau sulit memperoleh koleksi, bisa bekerja sama dengan numismatis. Seandainya koleksi asli, dalam kondisi apa pun sulit diperoleh, museum bisa menggunakan teknologi masa kini, antara lain scanner. Scansaja URIDA yang langka, toh warna dan bentuknya masih sesuai dengan asli. Yang penting masyarakat memperoleh informasi dari uang-uang tersebut. *** Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H