Pandangan demikian rupanya mendapat tanggapan serius. Terbukti, rumah-rumah sakit besar yang tadinya mencibir pandangan itu, sekarang secara rutin menurutsertakan program-program yang menggunakan teknik-teknik pikiran-tubuh untuk membantu para pasien menjadi sembuh.
Bapak Kedokteran Hippocrates selalu berkata “Pikiran adalah obat terbaik”. Teori itu kemudian dipraktekkan oleh Dr. Carl Simonton, direktur medis di RS Kanker California. Simonton juga berprofesi sebagai psikolog.
Menurutnya, pikiran dan tubuh sangat berhubungan. Dia menunjukkan cara pandang yang berbeda tentang kanker kepada pasiennya dan menuntun mereka kepada visualisasi positif. Ternyata tingkat kesembuhan pasien di rumah sakitnya menjadi meningkat (Kekuatan Pikiran, 2005).
Sesungguhnya, kita sendiri yang menyakiti diri kita dan kita juga yang menyembuhkan diri kita. Jelas, fenomena penyembuhan Ponari berlaku seperti yang diuraikan di atas: percaya kepada tuah batu sekaligus berpikir positif bahwa kita bisa disembuhkan walaupun dengan batu. Sarananya adalah kekuatan pikiran yang ada di dalam diri kita.
Memang, sulit dinilai secara kasat mata. Namun bagi warga desa atau orang yang tidak mampu (jadi bukan lagi kurang mampu), tentu saja yang diperlukan adalah biaya murah dan kesembuhan.
Mudah-mudahan fenomena Ponari akan membuka mata pihak berwenang bahwa layanan kesehatan murah atau mungkin gratis perlu diadakan di kantong-kantong kemiskinan. Saat biaya dokter tidak terjangkau, tentu masyakat akan beralih ke pengobatan alternatif yang murah meriah. Kecuali mungkin kalau ada sarana kesehatan yang murah atau gratis macam puskesmas, mereka akan berobat ke sana. Adanya BPJS Kesehatan yang dapat dipergunakan secara mudah diharapkan akan banyak membantu masyarakat golongan bawah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H