Salah satu objek wisata yang paling banyak dikunjungi wisatawan mancanegara di Jakarta adalah Museum Nasional Indonesia (MNI). Boleh dibilang MNI selalu menjadi ‘lokasi wajib’ bagi wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia, terlebih Jakarta. Soalnya adalah materi koleksi di MNI dianggap beragam, unik, dan langka. Koleksi-koleksi seperti itu, yang berasal dari seluruh wilayah Indonesia, tentu saja tidak ada di negara mereka karena memang setiap negara memiliki kebudayaan berbeda. Tidak heran berbagai pujian seperti wonderful, fantastic, dan excellent hampir selalu terlontar dari mulut mereka.
“Koleksi di sini sungguh luar biasa, mencerminkan kebudayaan Indonesia di masa lalu sudah begitu tinggi. Sangat berbeda dengan koleksi-koleksi yang ada di Belanda, meskipun ada juga yang berasal dari Indonesia,” kata Bernard, wisatawan asal Belanda, baru-baru ini.
Ironisnya, MNI tak memperoleh perhatian serius dari masyarakat negeri sendiri. Terbukti jarang ada yang berkunjung atas inisiatif pribadi bersama keluarga ke tempat ini. Yang banyak datang justru adalah rombongan murid sekolah atau rombongan lain yang sekadar singgah.
Bernard, wisatawan asal Belanda itu, sangat menyayangkan kalau apresiasi masyarakat Indonesia terhadap museum masih sangat kecil. Padahal karcis masuk di MNI terbilang sangat murah sekali, yakni Rp 5.000 untuk pengunjung dewasa dan Rp 2.000 untuk pengunjung anak-anak. Itupun belum termasuk potongan harga bila datang secara rombongan.
Menurut Bernard, di Belanda harga reguler karcis masuk museum adalah 8 Euro (sekitar Rp 100.000). Di Museum Louvre Prancis konon mencapai 20 Euro. Meskipun relatif mahal, ternyata minat mengunjungi museum tetap tinggi. Belum lagi kalau ada pameran khusus, pengunjung harus membeli karcis masuk tambahan. Bahkan tidak jarang mereka harus melalui antrean panjang.
Gedung baru
Dulu keluhan pengunjung MNI adalah ruangan yang terlalu sempit, sumpek, dan pengap ditambah soal penataan koleksi, pencahayaan ruangan, dan perawatan toilet. Pada dasarnya memang masyarakat bernada sinis terhadap museum terlengkap dan terbesar di Indonesia tersebut. Karena itu Museum Nasional sering dipandang hanya berfungsi sebagai gudang barang antik, bukan sebagai etalase ilmu pengetahuan dan pendidikan. Apalagi sebagai objek pariwisata yang populer macam di Eropa atau negara-negara maju lainnya.
Berbeda dengan penataan pameran di gedung lama—Gedung Unit A—di Gedung Arca alur cerita didasarkan atas kerangka tujuh unsur kebudayaan yang berlaku secara universal, yaitu (1) Sistem religi dan upacara keagamaan, (2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) Sistem pengetahuan, (4) Bahasa, (5) Kesenian, (6) Sistem mata pencarian hidup, dan (7) Sistem teknologi dan peralatan.
Ketujuh tema ini kemudian diuraikan lagi ke dalam rincian waktu yang bersifat makro, berdasarkan babakan dalam sejarah Indonesia, yakni masa prasejarah, masa klasik (pengaruh Hindu-Buddha), masa Islam, masa Kolonial, dsb. Penataan koleksi dengan konsep seperti itu dimaksudkan untuk memperjelas gambaran kepada para pengunjung. Dengan demikian benda-benda koleksi yang dipamerkan bisa lebih banyak berbicara karena satu sama lain saling melengkapi sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh, bukan sekadar sekumpulan koleksi yang diletakkan dalam satu ruang.
Selain itu ada sejumlah koleksi yang diperlakukan secara khusus. Koleksi-koleksi tersebut ditempatkan dalam ruangan koleksi khasanah dan koleksi keramik. Benda-benda yang dikategorikan koleksi khasanah adalah koleksi yang memiliki nilai khusus, seperti terbuat dari emas dan batu mulia atau benda yang memiliki arti khusus karena berfungsi sebagai regalia (berhubungan dengan kerajaan atau kesultanan).
Lain lagi koleksi keramik, yang diperlakukan secara khusus karena koleksi keramik Museum Nasional sudah sangat terkenal di dunia internasional. Bahkan berjumlah banyak, langka, indah, dan lengkap. Hal lain adalah karena keramik sudah memiliki tempat khusus di kalangan komunitas kolektor dan merupakan data arkeologi bertanggal mutlak sebagai ciri utama perdagangan internasional ketika itu.
Sejarah
Kalau kini Museum Nasional memiliki gedung mentereng, dulunya tak terbayangkan kalau beberapa kali pernah berpindah tempat. Sejarah Museum Nasional diawali ketika sekelompok cendekiawan mendirikan Bataviaasch Genootschaap van Kunsten en Wetenschappen, sebuah lembaga swasta untuk ilmu pengetahuan dan kesenian pada 24 April 1778. Salah seorang pendirinya JCM Radermacher menyumbangkan rumah di daerah Kota, koleksi, dan buku sebagai modal sebuah museum dan perpustakaan lembaga tersebut. Sayang rumah Radermacher di Jalan Kalibesar Barat belum terlacak hingga kini.
Upaya membangun gedung museum yang permanen mulai dirumuskan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1862. Pada 1868 gedung baru yang berlokasi di Jl. Medan Merdeka Barat No. 12, Jakarta Pusat, itu diresmikan pemakaiannya. Gedung museum itu kemudian dikenal dengan nama Gedung Gajah atau Gedung Arca.
Disebut Gedung Gajah karena terdapat patung gajah yang terbuat dari perunggu, hadiah dari Raja Siam Chulalongkorn pada 1871 ketika berkunjung ke Batavia. Nama Gedung Gajah masih lekat hingga sekarang di mata masyarakat. Kemudian disebut Gedung Arca karena di dalamnya tersimpan berbagai jenis dan bentuk arca yang berasal dari berbagai bahan dan kurun waktu.
Mungkin sudah terlupakan kalau gedung ini pun pernah mendapat julukan Gedung Jodoh, karena sebelum banyaknya objek pariwisata di wilayah Jakarta, gedung museum selalu dimanfaatkan untuk berpacaran kaum muda-mudi.
Sejarah juga mencatat bahwa pada 29 Februari 1950 museum menjadi Lembaga Kebudayaan Indonesia. Lantas pada 17 Februari 1962 lembaga tersebut diserahkan kepada pemerintah Indonesia dan menjadi Museum Pusat. Setelah itu mulai 28 Mei 1979 nama Museum Pusat diganti Museum Nasional yang terus dipakai hingga sekarang.
Murah meriah
Jika dibandingkan dengan museum-museum sejenis di sejumlah negara, memang Museum Nasional masih tertinggal jauh. Kualitas museum-museum di sana seperti Museum Louvre di Prancis dan British Museum di Inggris, sering dianggap tidak ada duanya di dunia.
Salah satu tugas dan fungsi Museum Nasional adalah menjadi lembaga penelitian dan studi warisan budaya bangsa serta sebagai pusat informasi yang bersifat edukatif-kultural dan rekreatif. Boleh dikatakan, Museum Nasional adalah objek wisata yang murah meriah. Dibandingkan dengan objek-objek wisata lain, seperti Taman Mini dan Ancol, yang harga karcis masuknya di atas sepuluh ribu rupiah, Museum Nasional juga tertinggal jauh dalam hal jumlah pengunjung. Memang ada perbedaan antara objek wisata semata dengan objek wisata budaya/pendidikan.
Meskipun begitu, bagi wisatawan mancanegara dan golongan tertentu di tanah air, Museum Nasional tetap menjadi objek wajib kunjung selama berada di Jakarta. Apalagi Museum Nasional kini relatif mudah dikunjungi dengan kehadiran bus Transjakarta karena lokasinya tepat di seberang halte Monumen Nasional.
Museum Nasional sendiri saat ini memiliki hampir 150.000 benda budaya dari seluruh Indonesia. Koleksi-koleksi itu terbagi menjadi tujuh bagian, yakni prasejarah, arkeologi, etnografi, keramik, numismatik-heraldik, geografi, dan relik sejarah. Ditinjau dari kuantitas koleksi, tidak dimungkiri kalau Museum Nasional merupakan salah satu museum terbanyak koleksinya di dunia.
Namun dari segi kualitas tentu saja Museum Nasional masih harus belajar banyak dari museum-museum kelas dunia. Memang, penataan ruangan di gedung lama sudah berubah banyak dari sebelumnya. Kalau semula berdasarkan jenis koleksi, kini menjadi tema atau wilayah budaya. Hal ini patut diacungi jempol. Begitu pula adanya televisi untuk mendukung informasi koleksi.
Yang masih perlu dipertimbangkan adalah adanya komputer layar sentuh sehingga memudahkan pengunjung untuk memperoleh informasi lebih banyak. Bisa juga telepon bersuara atau bentuk audio lainnya. Persoalannya museum masa kini dan masa mendatang, tidak bisa dilepaskan dari kemajuan teknologi informasi. Biarlah “museum masa lalu” sebagai pelajaran berharga untuk bahan perbandingan.
Sebagai institusi milik pemerintah, kendala terbesar Museum Nasional adalah dana yang diterima selalu tergantung dari APBN. Sangat tidak mungkin mengharapkan dana dari karcis masuk. Ironisnya, dana APBN sering tersendat-sendat karena bidang kebudayaan kurang memperoleh perhatian serius.
Sudah jelas untuk meningkatkan kualitas Museum Nasional, masih diperlukan beberapa tahun anggaran lagi. Misalnya untuk melengkapi subtema terakhir “Religi dan kesenian”, yang direncanakan baru ada setelah Gedung Unit C dibangun. Juga untuk pengadaan perlengkapan pengamanan yang canggih. Untuk maju selangkah lagi tentu Museum Nasional harus dikelola secara profesional dengan memadukan unsur budaya, bisnis, iptek, dan pariwisata.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H