Kalau ada pertanyaan museum mana yang paling banyak koleksinya, jawabannya pasti Museum Nasional. Museum ini dikenal juga dengan nama Museum Gajah. Malah pada 1960-an dijuluki Gedung Jodoh karena saat itu objek wisata yang paling ramai adalah museum ini. Jadi digunakan untuk bercengkerama antara muda mudi. Museum Nasional terletak di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 12, persis di seberang halte Transjakarta. Bilang saja turun di halte Monumen Nasional atau Monas.
Ada lebih dari 100.000 koleksi di museum ini berupa keramik, mata uang, prasasti, arca batu, benda logam, dan masih banyak lagi. Berhubung banyaknya koleksi, saya coba perkenalkan satu per satu. Kali ini tentang meriam kuno.
Generasi sekarang pasti belum paham tentang meriam. Memang zaman sudah maju, jadi meriam tidak digunakan lagi. Nah, meriam merupakan senjata untuk berperang atau mempertahankan diri. Bahannya terbuat dari logam. Bentuknya agak panjang, sehingga digunakan untuk menembak jarak jauh. Meriam memiliki berbagai bentuk dan ukuran.
Eropa
Dulu meriam banyak digunakan di Eropa untuk berperang. Kemungkinan meriam pertama kali digunakan oleh tentara Inggris ketika berperang melawan Prancis pada 1436. Ketika itu jenis meriam yang digunakan berukuran kecil terbuat dari besi yang diberi alas kayu. Ukurannya hampir sama dengan senapan biasa dan dapat dibawa dengan mudah. Banyak orang menyebutnya meriam tangan atau senapan. Setelah itu meriam mengalami perkembangan dalam bentuk, ukuran, dan bahan. Tentunya disesuaikan dengan kemajuan teknologi.
Masyarakat Nusantara mulai mengenal meriam pada abad ke-16 ketika bangsa Portugis datang ke sini. Untuk melindungi diri dari serangan musuh ataupun bajak laut, bangsa Portugis melengkapi kapal dagangnya dengan meriam. Bahkan meriam itu digunakan untuk menaklukkan dan merebut sejumlah kerajaan di Nusantara, terutama yang kaya dengan komoditas perdagangan seperti rempah-rempah. Begitu pula kapal-kapal dagang dari Spanyol, Belanda, Inggris, dan Prancis, datang ke Nusantara dilengkapi meriam.
Bentuk
Seperti halnya benda-benda lain, meriam pun memiliki bentuk beragam. Bentuk meriam kuno dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu meriam bumbung, meriam coak, dan meriam lela.
Menurut kegunaannya, meriam dibedakan menjadi tiga jenis pula, yakni meriam kapal, meriam benteng, dan meriam artileri atau penyerangan benteng. Biasanya meriam kapal berlaras pendek dan berukuran besar sehingga tidak banyak memakan tempat. Bahkan dapat menembak lebih jauh dan lebih tepat.
Meriam benteng berukuran paling besar dan paling berat. Biasanya ditempatkan di setiap sudut benteng yang strategis. Bisa juga ditempatkan di sepanjang pantai.
Meriam yang berukuran paling kecil disebut meriam artileri. Meriam ini cukup mudah dibawa karena diletakkan di atas roda penyangga.
Meriam kuno tersebar di beberapa wilayah Nusantara. Terutama di daerah yang pernah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan bangsa Eropa. Pada masa kemudian dikenal meriam upacara, antara lain untuk menyambut tamu agung atau pejabat dari negara lain.
Masa kini
Banyak meriam memiliki tanda-tanda khusus, seperti simbol, lambang, tulisan, dan hiasan yang menunjukkan data tertentu. Hiasan-hiasan tersebut berfungsi untuk memperindah meriam. Dari tanda-tanda tersebut peneliti masa kini bisa mengetahui dari mana meriam tersebut berasal. Misalnya kalau ada lambang VOC, jelas meriam tersebut berasal dari Belanda.
Mereka rela berdatangan dari jauh. Sayang kondisi saat ini sangat mengkhawatirkan. Keberadaan meriam Si Jagur sering ternoda karena menjadi tempat barang dagangan PKL dan dinaiki pengunjung Kota Tua Jakarta.
Oh ya, pernahkah Anda mendengar fungsi lain dari meriam? Pada beberapa masyarakat di Indonesia, meriam Lela pernah digunakan sebagai mas kawin.
Nah demikianlah sedikit cerita tentang meriam. Museum Nasional memiliki sekitar 100 meriam loh. Namun tidak seluruh meriam dipamerkan kepada masyarakat. Beberapa meriam ada di halaman dekat patung gajah.
Sumber Pustaka:
- Katalog Pameran Meriam-meriam Kuno di Indonesia. Museum Nasional, 1985.
- Meriam Kuno Sebagai Salah Satu Obyek Penelitian Sejarah. Museum Nasional, 1985.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H