Dalam laporannya itu, dia melukiskan dengan gamblang keberadaan wayang beber. Wayang beber adalah wayang yang adegan demi adegannya dilukis di atas sehelai kain dan ceritanya dijelaskan oleh seorang dalang. Menurut Ma-huan, para penonton wayang beber setia mengikuti cerita dalang dengan penuh minat.
Kesenian wayang semakin populer, terutama pada masa kerajaan-kerajaan Islam, seperti Demak, Pajang, dan Mataram. Pada masa itu wayang menjadi ciri khas pada sejumlah keraton di Jawa. Toleransi beragama pun diwujudkan lewat wayang karena berbagai lakon berasal dari kitab Ramayana, Mahabharata, dan kitab-kitab Hindu lainnya. Baru puluhan tahun kemudian kisah-kisah pengaruh Islam memerkaya lakon wayang, yang umumnya cuplikan dari Babad Demak, Babad Mataram, dan Serat Panji.
Sebagai wilayah yang terdiri atas beragam suku bangsa dan kebudayaan, tidak dipungkiri kalau di seluruh Indonesia terdapat puluhan jenis wayang, berdasarkan bahan pembuatan dan daerah asal. Yang unik ada wayang wahyu, untuk menyebarkan agama Katholik dan wayang Buddha, tentu saja berhubungan dengan agama Buddha. Selain itu dikenal wayang potehi, yang dipopulerkan oleh etnis Tionghoa.
Diperkirakan wayang kulit yang mula-mula terbuat dari kulit kayu dengan cerita berdasarkan Mahabharata. Selanjutnya muncul wayang yang dibuat dari daun lontar, disebut wayang purwa awal. Adanya wayang kulit rupanya memberi inspirasi pertumbuhan wayang lontar. Kemungkinan wayang ini tercipta sekitar 934 M dan wayang kertas atau wayang beber tercipta sekitar 1140 M.
Pada 1315 Raja Brawijaya V menciptakan wayang krucil atau wayang klitik. Jenis ini merupakan boneka dengan bahan dasar kayu namun bentuknya pipih, mendekati bentuk wayang kulit. Sedangkan raut tokoh-tokohnya merupakan tiruan dari raut wayang beber. Pada awal abad ke-16 muncul wayang tiga dimensi yang disebut golek.
Dalam bahasa Jawa, golek mengandung arti mencari (nggoleki). Dalam kaitannya dengan pergelaran dimaksudkan agar penonton dapat mencari makna atau inti pelajaran dari cerita yang digelar. Di Jawa Barat keberadaan wayang diduga sudah ada sebelum abad ke-16 M. Hal itu tersurat dari sumber naskah sejarah Sanghyang Siksa Kandang Karesia(1440 Saka atau 1518 M).Naskah itu menyebutkan, “Jika ingin tahu semua cerita seperti Darmajati.....Segala sifat cerita bertanyalah kepadamemen(dalang)”.
Perubahan ideologi agama dari masa Hindu dan Buddha ke masa Islam juga berpengaruh kuat terhadap tata cara pergelaran wayang. Tahun 1515 Raden Patah yang berkuasa di Demak mengubah bentuk wayang agar tidak mirip manusia. Ketika itu boneka manusia diharamkan dalam ajaran Islam. Penokohan wayang satu per satu dipisahkan mandiri dan tidak dibeberkan. Wayang tersebut terbuat dari kulit dan diberi sampurit (jepitan) untuk menancapkan wayang. Namun belum ditatah, hanya diberi warna untuk membedakan tokoh.
Raden Patah dibantu oleh para wali di antaranya Sunan Giri menciptakan keragaman tokoh wanara (manusia berekor monyet) pada lakon Ramayana, Sunan Bonangmenciptakan bentuk-bentuk binatang seperti gajah, kuda, garuda, dll. Sunan Kalijagamengatur kelir, gebog, dan belincong. Sedangkan Raden Patah sendiri, selain mengubah gambar wayang, juga menciptakan gugunungan dan mengatur janturan wayang.
Sumber:
Katalogus Pameran Wayang Merentang Jaman, Museum Nasional, 25 September-10 Oktober 2012.
Almanak Wayang Indonesia, 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H