Pertengahan Januari 2017 di wilayah Jakarta Pusat pernah terpasang spanduk terhadap larangan pergelaran wayang kulit. Kasus ini sempat viral di dunia maya. Beberapa hari kemudian spanduk-spanduk tersebut diturunkan.
Memang ada motif tertentu di balik pemasangan spanduk. Namun tentu kita tidak bicara spanduk. Lebih bermanfaat kalau kita telusuri sejarah wayang dan fungsinya di masyarakat. Apalagi pada 2003 UNESCO menetapkan wayang sebagai warisan pusaka dunia.
Sebenarnya wacana tentang wayang sebagai karya adiluhur sudah terlontar pada abad ke-19. Ketika itu pakar budaya Hindia Belanda, J. L. A. Brandes mengatakan bahwa wayang merupakan peninggalan asli milik bangsa Indonesia. Menurutnya, segala unsur dalam wayang itu tidak dipengaruhi kebudayaan India, baik yang bercirikan Hinduisme maupun Buddhisme.
Munculnya wayang ditafsirkan karena bayangan lukisan manusia dipandang dapat merupakan tontonan yang menghibur. Pada awalnya, gambar bayangan tersebut diwujudkan di atas daun tal. Karena daun tal dianggap terlalu kecil, selanjutnya gambar dipindahkan ke atas kulit lembu atau sapi.
Gambar yang ditatah tersebut kemudian diberi latar kain putih. Dengan bantuan sinar lampu, penonton dapat melihat bayangan hitam pada layar. Itulah yang disebut pertunjukan wayang, yang artinya melihat bayangan (wayangan).
N. J. Krom dan W. Rassers berpendapat bahwa pertunjukan wayang di Jawa sama dengan apa yang ada di India Barat. Jadi kemungkinan wayang merupakan perpaduan unsur Hindu dan Jawa. Ada pula yang mengatakan bahwa wayang berasal dari Tiongkok. Yang berpandangan demikian antara lain adalah G. Schlegel. Katanya, pada pemerintahan Kaisar Wu Ti, sekitar 140 SM, ada pertunjukan bayang-bayang semacam wayang. Pertunjukan ini menyebar ke India, baru kemudian dari India dibawa ke Indonesia. Adanya persamaan kata antara bahasa Tiongkok Wa-yaah (Hokkian), Wo-yong (Kanton), Woying (Mandarin), dan Wayang (Jawa), mungkin menjadi bukti adanya saling mempengaruhi.
Prasasti
Wayang sebagai kebudayaan tertua asli Indonesia, banyak disebut oleh sumber-sumber sejarah, utamanya prasasti. Pada abad ke-9 hingga ke-10, pertunjukan wayang di Jawa diadakan sebagai salah satu acara pesta. Konon, pesta itu diselenggarakan siang hari, kemudian dilanjutkan dengan pertunjukan wayang pada malam harinya. Informasi seperti ini diperoleh dari Prasasti Sangguran (928 M) dan Prasasti Alasantan (939 M).
Prasasti Cane (1021 M) dan Prasasti Patapan (angka tahunnya rusak), memberikan informasi yang agak berbeda. Kedua prasasti tersebut menyebutkan istilah awayang. Istilah lain, aringgit, disebutkan oleh Prasasti Turunhyang (1036 M). Dalam masyarakat Jawa kuno, menurut arkeolog A.S. Wibowo (1976), awayang dan aringgit merupakan salah satu golongan yang berprofesi di bidang kesenian wayang.
Yang mengejutkan, istilah awayang ternyata sudah disebutkan dalam sebuah prasasti tembagayang bertahun 840 M (762 Saka). Prasasti ini baru ditafsirkan kemudian, jauh setelah Prasasti Cane dan Patapan. Dalam prasasti Ugrasena (896 M) disebutkan pula beberapa kelompok kesenian, di antaranya yang disebut parbwayang atau pertunjukan wayang.
Bukti lebih tua menyatakan bahwa sekitar 778-907 M wayang, terutama wayang kulit, telah ada dan sering menampilkan cerita tentang roh nenek moyang. Selanjutnya setelah adanya akulturasi dari agama Hindu, cerita Ramayana dan Mahabharata mulai populer. Prasasti termuda yang menyebutkan wayang, kemungkinan Waringin Pitu (1447 M).
Wayang Beber
Kesenian wayang berkembang pada masa pemerintahan Raja Airlangga dan Raja Jayabaya. Kesenian tersebut semakin meluas pada masa Kerajaan Majapahit. Hal ini bisa dilihat dari adanya berbagai relief motif wayang yang dipahatkan pada candi-candi yang didirikan masa itu.