Siapapun gubernurnya, pemprov DKI Jakarta pasti sulit mengendalikan banjir. Masalah utama di Jakarta jelas bukan terletak pada figur. Ada lagi yang sangat penting, yakni faktor geografis atau topografi.
Jakarta terletak di dataran yang sangat rendah. Di beberapa tempat ketinggian permukaan tanahnya, hanya beberapa sentimeter di atas permukaan laut. Bahkan sebagian di bawah permukaan laut dalam bentuk rawa-rawa.
Tingkat sedimentasi yang tinggi di sungai-sungainya membuat air tidak dapat mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang lebih rendah. Maka kanal-kanal yang tadinya diharapkan dapat membantu menggelontorkan air hujan dengan cepat ke Teluk Jakarta, tak dapat berfungsi maksimal. Tragisnya, semakin tahun permukaan tanah di Jakarta semakin menurun.
Banjir (besar) di Jakarta umumnya terjadi pada Januari-Februari karena merupakan puncak bulan basah, yakni bulan yang curah hujannya lebih dari 100 milimeter. Pada bulan-bulan ini pun tanah sudah jenuh dengan air karena penguapan air sangat kecil.
Hanya satu teknologi yang dianggap mampu meminimalisasi banjir Jakarta, yakni teknologi Belanda. Negara yang berada di bawah permukaaan air laut itu, dengan teknologi bendungan dan kincir angin, selalu aman-aman saja dari terjangan banjir.
Data Arkeologi
Menurut tafsiran dari data arkeologi, banjir Jakarta sudah terjadi sejak abad ke-5 Masehi. Informasi ini disampaikan oleh Prasasti Tugu yang ditemukan di daerah Tanjung Priok.Â
Prasasti itu dikeluarkan oleh Raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanagara, menyebutkan pembuatan saluran Gomati dan Candrabhaga. Kemungkinan kedua saluran besar itu berfungsi untuk mengendalikan  banjir.
Sejak lama diyakini masalah banjir Jakarta dapat diatasi dengan membangun kanal, terusan, sodetan, dan saluran. Dulu salah satu kiat Belanda untuk mengatasi banjir di Batavia adalah membuat saluran dari Harmoni lurus ke laut membelah Jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk sekarang.
Banjir di Jakarta jelas sulit dihilangkan. Apalagi Jakarta memiliki tiga jenis banjir, yakni banjir lokal, banjir rob, dan banjir kiriman. Paling-paling banjir hanya bisa diminimalisasi dengan pembuatan situ atau bendungan di daerah atas (penyangga), revitalisasi/normalisasi sungai, dan pembangunan kanal/saluran/sodetan di dalam kota.
Masyarakat masa kini juga tidak memiliki kearifan lingkungan, padahal kearifan lingkungan adalah kunci ketenteraman hidup sejak ratusan tahun lalu. Pada abad ke-9 hingga ke-10 masyarakat Jawa kuno, sudah mengenal organisasi yang berkenaan dengan lingkungan hidup. Beberapa petugas kerajaan yang berhubungan dengan lingkungan hidup, antara lain tuha alas, juru alas, atau pasuk alas (menunjukkan profesi pengawas kehutanan).Â
Sebutan demikian terdapat pada Prasasti Jurungan (876 M), Tunahan (872), Haliwangbang (877), Mulak (878), Mamali (878), Kwak I (879), Taragal (830), Kubukubu (905), Cane (1021), Sarsahan (908), dan Kaladi (909). Selain itu, ada jabatan tuhaburu, yakni pejabat yang mengurusi masalah perburuan binatang di hutan.
Untuk menanggulangi timbulnya bencana alam yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem, Raja Airlangga pernah memerintahkan pembangunan Bendungan Wringin Sapta.Â
Berkat adanya penampungan air tersebut, sebagaimana informasi dari Prasasti Kamalagyan (1037), kehidupan penduduk menjadi tenang.
Sebelumnya, Sungai Brantas sering kali menjebolkan tanggul di Wringin Sapta sehingga banyak desa di bagian hilir kebanjiran. Tapi setelah adanya bendungan, aliran Sungai Brantas dipecah menjadi tiga bagian, sehingga air menjadi tenang.
Petugas lain yang disebutkan prasasti adalah hulair atau lebleb, sekarang mungkin ulu-ulu. Hulair bertugas mengurusi masalah irigasi di pedesaan. Berkat adanya petugas itu, lahan-lahan pertanian tidak pernah kekeringan. Â
Dulu kemurkaan Sungai Brantas dan Bengawan Solo bisa diminimalisasi lewat pembuatan bendungan dan kearifan lingkungan. Seharusnya keganasan Sungai Ciliwung dan sungai-sungai lain pun mampu ditanggulangi dengan cara demikian. Sudah saatnya pemprov DKI Jakarta mengacu pada data arkeologi.
Citra Satelit
Penelitian citra satelit terhadap Situs Trowulan (Jawa Timur) pernah mengidentifikasi adanya saluran-saluran saling tegak lurus yang bermuara pada Sungai Gintung dan Sungai Brantas.Â
Melalui foto udara inframerah juga diketahui masih adanya berbagai peninggalan purbakala di bawah permukaan tanah (Aris Poniman dan Priyadi Kardono, 1996).
Ketika itu berhasil terekam pula kondisi situs-situs kuno Banten Lama, Muara Jambi, Muara Takus, Palembang, Penanggungan, Leang-leang, dan Somba Opu.Â
Penelitian Jakarta purba tentu saja bisa dilakukan seperti itu. Melalui bantuan alat modern, para ilmuwan mampu mengetahui adanya alur sungai, garis pantai, pulau, dan saluran purba di suatu situs.
Berdasarkan ‘penemuan’ tersebut, seharusnya sejumlah sungai purba diaktifkan kembali untuk mengurangi dampak banjir yang sering melanda negara kita.
Sungai-sungai purba itu terbukti memberi peran sangat besar untuk kehidupan penduduk sekaligus melestarikan lingkungan pada masa lampau.
Banyak kearifan kuno sebenarnya masih sangat relevan dengan kondisi saat ini.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H