Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Baru Pertama Kali, Disertasi Boechari Berupa Kumpulan Tulisan Terpilih

26 Desember 2016   16:02 Diperbarui: 27 Desember 2016   10:28 487
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Boechari di antara batu-batu candi (Sumber: Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti)

Mahasiswa arkeologi UI sampai dengan angkatan 80-an pastilah sudah familiar dengan nama ini, Boechari. Beliau adalah seorang pengajar epigrafi senior. Namun sejak 28 Mei 1991 beliau meninggalkan kita untuk selama-lamanya karena sakit.

Boechari sudah lebih dari 30 tahun berkecimpung di dunia epigrafi. Dunia yang dipandang paling sulit oleh kebanyakan mahasiswa arkeologi. Jangan heran kalau sampai kini jumlah epigraf di seluruh Indonesia masih minim.

Dalam perbincangan terakhir saya dengan Boechari pada Maret 1991, beliau mengatakan kalau saja kita mau bersungguh-sungguh, betapa pun sulitnya suatu ilmu pengetahuan, pasti akan bisa dipelajari. Ada dua bekal yang harus dipenuhi, katanya, yaitu pengetahuan arkeologi dan linguistik. Bekal lain adalah ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.

Bekal seperti itulah yang belum dimiliki para mahasiswa arkeologi. “Bapak heran mengapa tidak ada mahasiswa yang menekuni epigrafi, padahal dulu dalam ujian sarjana pengetahuan epigrafi merupakan mata kuliah wajib,” katanya.

Semula Boechari mengharapkan dua nama yang bakal menggantikannya. Mereka adalah Edi Sedyawati dan Hasan Djafar. “Dari banyak kelas, Edi merupakan murid terpandai,” begitu cerita Boechari. Namun ketika Edi diminta belajar epigrafi, dia bilang ngeri. “Eh, malah belajar tari,” kata Pak Boechari waktu itu.

Hasan Djafar dinilai ulet, teliti, dan pandai. Dalam ujian sarjana, Hasan hampir memperoleh nilai maksimum. Tetapi ketika disuruh megang prasasti, Hasan hanya nyengir.

Pada masa kemudian Prof. Edi Sedyawati pernah menduduki jabatan Direktur Jendral Kebudayaan, sementara Dr. Hasan Djafar menjadi tenaga pengajar di UI. Saat ini keduanya sudah pensiun tapi masih aktif di berbagai kegiatan arkeologi.

Menurut Boechari pada 1980-an minat mahasiswa terhadap epigrafi mulai meningkat. D.S. Setyawardhani tadinya akan diorbitkan. Karena nilai skripsinya bagus, dia diangkat menjadi asisten Boechari. Namun ketika disekolahkan ke luar negeri, dia malah kecantol mahasiswa Indonesia yang juga bersekolah di sana. Mahasiswa tersebut adalah Dami S. Toda.

Gagal memikat D.S. Setyawardhani, harapan kemudian ditumpukan kepada Richadiana Kartakusuma, Titi Surti Nastiti, I Gusti Ngurah Tara Wiguna, Ninie Susanti, Agus Aris Munandar, dan Rita Fitriati. Dari sejumlah nama itu, Boechari berharap besar dari Ninie Susanti, Agus Aris Munandar, dan Rita Fitriati. Ketiganya memang menjadi pengajar di Jurusan Arkeologi UI, kecuali Rita Fitriati yang mengundurkan diri.

Boechari menilai Ninie sangat tekun. Lagi pula perhatiannya kepada epigrafi sangat besar. Mudah-mudahan saja dia bisa menggantikan saya, begitu Boechari berharap sekali.

Agus Aris Munandar dianggapnya sangat cerdas. Hanya dia masih belum bisa menentukan pilihan, mau ikut dirinya atau ikut Hariani Santiko, pengajar Kepurbakalaan Indonesia. Tentang Rita Fitriati dikatakannya potensial, hanya kini masih mendalami bahasa Sansekerta di luar negeri.

Selain di UI, menurut Boechari, ketika itu di UGM pun sebenarnya ada seorang peminat epigrafi. Sayangnya, dia kuliah di dua tempat. Ketika lulus, si mahasiswi itu mendapat predikat cum laude. Namun dia lebih memilih mengajar di PTS ketimbang mendalami epigrafi.

Boechari mengatakan untuk menghasilkan peminat epigrafi, jurusan-jurusan arkeologi di Indonesia menetapkan Pengantar Epigrafi sebagai mata kuliah wajib. Ini sudah berjalan baik.

Beberapa tahun lalu Departemen Arkeologi UI pernah menyelenggarakan pendidikan S-2 bidang Epigrafi. Sayang kemudian salah satu lulusan yang potensial, Sri Ambarwati, tidak memperoleh tempat sebagai tenaga pengajar. Akhirnya dia berwiraswasta. Begitu juga dengan Vernika Hapri Witasari, lebih memilih bidang swasta.

Saat ini yang masih menggeluti epigrafi antara lain Ninie Susanti dan Andriyati Rahayu dari UI; Titi Surti Nastiti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional; Trigangga dan Fifia Wardhani dari Museum Nasional; I Gusti Ngurah Tara Wiguna dari Universitas Udayana; dan Tjahjono Prasodjo dari Universitas Gadjah Mada. Hasan Djafar dan Riboet Darmosutopo yang sudah pensiun, kadang-kadang dilibatkan dalam penelitian prasasti.

Teori

Selama hidupnya Boechari banyak melontarkan pendapat dan teori ke dunia ilmiah. Salah satu kerja kerasnya yang terkenal adalah pembacaan sebuah kata dari prasasti Kedukan Bukit. Disebutkan bahwa Dapunta Hyang datang di suatu tempat bernama ma.......Karena hurufnya sudah usang, maka muncullah berbagai tafsiran.

G. Coedes membacanya matayap. Menurut N.J. Krom adalah malayu, sementara Slametmuljana menganggap matadanau. Boechari dengan yakin mengatakannya mukha upang. Ternyata nama upang memang dijumpai di peta-peta kuno dan masih ada sebagai nama sebuah desa kecil di sebelah timur laut Palembang, di tepi sungai Upang.

Sebelumnya Boechari pernah mengemukakan teori tentang asal-usul wangsa Sailendra di Indonesia. Teori itu dimaksudkan untuk meruntuhkan teori-teori sarjana asing. R.C. Majumdar, sarjana India, menganggap wangsa Sailendra berasal dari Kalingga di India Selatan. Nilakanta Sastri, juga sarjana India, menduga dari Pandhya di India Selatan.

Prasasti Sojomerto (Sumber: Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti)
Prasasti Sojomerto (Sumber: Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti)
G. Coedes, sarjana Prancis, lebih condong berpendapat wangsa Sailendra berasal dari Funan atau Kamboja. J.L. Moens, sarjana Belanda, mendukung pendapat kedua sarjana India itu.

Namun berdasarkan prasasti Sojomerto, Boechari menyimpulkan bahwa wangsa Sailendra berasal dari Indonesia. Dasarnya adalah penyebutan nama Selendra yang jelas merupakan ejaan Indonesia dari kata Sansekerta Sailendra.

Teori-teori yang dikemukakan Boechari sering menjadi acuan para sarjana. Kesungguhan Boechari untuk menekuni dunia epigrafi telah membuahkan banyak hasil. Yang menjadi pertanyaan mampukah generasi muda arkeologi berprestasi seperti Boechari?

Dunia pendidikan

Boechari lahir di Rembang, 24 Maret 1927. Pada 1950 ia memasuki Jurusan Sejarah pada Fakultas Sastra UI. Di sela-sela kesibukannya, ia mengajar di sekolah swasta. Bersama R.P. Soejono dan Daoed Joesoef,  pada 1951 Boechari mendirikan Perguruan Ksatria yang sampai kini masih ada di bilangan Jalan Percetakan Negara.

Pada 1952 Boechari pindah ke Jurusan Ilmu Purbakala dan Sejarah Kuno Indonesia. Saat itu juga ia bekerja di Dinas Purbakala yang kemudian menjadi Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional (LPPN).

Pada 1958 Boechari lulus sebagai sarjana dengan skripsi Tembaga Tulis dari Polengan. Keahliannya dalam bidang epigrafi dan sejarah kuno Indonesia serta bakat dan perhatiannya kepada dunia pendidikan, menyebabkan Boechari harus menyisihkan waktu untuk mengajar di UI (1958-1966) dan UGM (1959-1982). Mulai 1967 Boechari  mengabdi di FSUI secara tetap. Di FSUI Boechari pernah menjadi Kepala Lembaga Arkeologi (mulai 1968).

Selama kariernya Boechari banyak mengikuti kegiatan di dalam dan luar negeri. Ia selalu menyajikan makalah yang merupakan hasil penelitiannnya di bidang arkeologi, epigrafi, dan sejarah kuno. Tercatat Boechari telah menghasilkan lebih dari seratus karya tulis yang tersebar dalam berbagai penerbitan di dalam dan luar negeri. Setiap tulisan Boechari mencerminkan cita dan citra seorang perfeksionis.

Disertasi Boechari yang dibukukan
Disertasi Boechari yang dibukukan
Karena ingin sempurna itulah disertasi Boechari tidak pernah rampung, meskipun pembimbingnya, J.G. de Casparis, berkali-kali mengejarnya. Setiap ada data prasasti baru, ia analisis. Ia begitu penasaran dan ingin memperoleh hasil terbaik. 

Akhirnya atas upaya Prof. Koentjaraningrat dan Prof. Soekmono, Boechari tidak diharuskan menulis disertasi lagi. Kemungkinan baru pertama kali di dunia akademik Indonesia, yang dianggap disertasi Boechari berupa kumpulan tulisan terpilih. Boechari cuma diminta membuat kata pengantar dan kata penutup. Namun Boechari tidak berkesempatan mengenyam gelar doktor karena SK Rektor sudah disiapkan untuk jabatan guru besar. Sejak 1 Februari 1991 Boechari diangkat sebagai Guru Besar Madya pada FSUI. Berarti Boechari layak dipanggil Profesor.***

Sumber pendukung tulisan:

Richadiana Kartakusuma. “Prof. Boechari dan Penelitian Epigrafi I*ndonesia,” Jurnal Arkeologi Indonesia 1, hlm. 71-79. Jakarta, Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia, 1992.

Hasan Djafar. “Riwayat Hidup Singkat Prof. M. Boechari (Rembang, 24 Maret 1927 – Jakarta, 28 Mei 1991),” Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, hlm XIII-XVI. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun