Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lambat Laun, Bahasa Betawi akan Menggusur Bahasa Indonesia

21 Desember 2016   03:33 Diperbarui: 21 Desember 2016   14:14 1164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ondel-ondel, kesenian khas Betawi (Sumber: kebudayaanindonesia.net)

Bahasa nasional kita adalah bahasa Indonesia. Produk hukumnya terdapat dalam materi UUD 1945. Dikatakan bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia.

Namun, dalam praktik sehari-hari, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, belum sepenuhnya dipatuhi masyarakat. Hal ini sering kita lihat dalam teks-teks media cetak, buku, dan penerbitan lain. 

Yang paling jelas tampak dari berbagai bahasa lisan, termasuk acara wawancara atau dialog di media elektronik. Meskipun berstatus pejabat negara atau ahli bahasa, mereka sesekali menyelipkan kata-kata seperti nggak, lho, banget, dong, dan biarin.

Memang, hal demikian sah-sah saja. Bahasa pasaran selalu lebih mudah dimengerti oleh masyarakat awam ketimbang bahasa formal. Buat masyarakat Jakarta sendiri, kata-kata itu tidak asing lagi.

Kenyataan ini membuktikan bahwa bahasa Betawi mampu menggusur bahasa Indonesia. Sejak lama dialek Jakarta ini memang sudah akrab di telinga masyarakat dari berbagai kalangan dan daerah. Bahkan bule-bule yang bisa berbahasa Indonesia pun, tidak sungkan-sungkan menyelipkan dialek Jakarta.    

Pakar Bahasa Indonesia Anton M. Moeliono (1981) pernah meramalkan bahwa selang satu dua generasi, ragam bahasa kota Jakarta akan menjadi dasar bagi bahasa Indonesia baku yang mantap. Pendapatnya itu didasarkan atas kecenderungan umum di antara kalangan masyarakat untuk berorientasi ke kota Jakarta.

Sebelumnya, Ben Anderson (1966) mengatakan bahwa bahasa Indonesia akan berkembang menjadi ragam bahasa kromo, sedangkan bahasa Betawi berlaku sebagai ngoko-nya. Muhadjir (1976) juga memerkirakan bahwa bahasa Betawi pada masanya akan berkembang menjadi ragam bahasa Indonesia substandar.

Bahasa Indonesia dan bahasa Betawi sebenarnya sama-sama tumbuh dari bahasa Melayu. Sejak bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional pada 1928, maka bahasa Indonesia dipakai untuk komunikasi formal.

Untuk keperluan lain yang kurang formal, seperti untuk pengembangan bahasa surat kabar dan bahasa percakapan sehari-hari yang santai, bahasa Betawi lah yang digunakan. Bahasa Betawi menjadi perhatian utama karena pusat pemerintahan berada di Jakarta, meskipun sebenarnya dari sudut pandangan ilmiah penyebutan bahasa Betawi atau dialek Betawi kurang cocok. Yang dipandang lebih mengena adalah bahasa Melayu dialek Jakarta.

Berbeda dengan bahasa-bahasa daerah dan dengan bahasa Melayu lainnya, seperti bahasa Melayu Riau dan bahasa Melayu Banjar, dialek Melayu Jakarta tidak didukung oleh kelompok etnis yang sama atau etnis tertentu. Karena Jakarta merupakan kota yang multi etnis, maka  penggunanya tidak terbatas pada etnis Betawi saja.

Hal ini tentunya berhubungan erat dengan sejarah masa lalu Jakarta. Sebagai kota pelabuhan sejak berabad-abad lampau, Jakarta telah menjadi magnet bagi bermacam-macam sukubangsa untuk datang ke kota ini. Dalam berinteraksi, kaum pendatang itu mau tidak mau harus berkomunikasi dalam Bahasa Betawi.

Perkembangan Jakarta yang begitu pesat,  bisa diamati dari komposisi penduduk Jakarta pada abad XIX. Menurut sensus 1819, penduduk Jakarta terdiri atas 14.139 budak, 11.845 orang Cina, 7.720 orang Bali, 3.331 orang Jawa dan Sunda, 3.151 orang Melayu dari luar Jakarta, 2.208 orang Eropa, serta sejumlah kecil orang Arab, dsb (Muhadjir, 1976).

Dalam bilangan tahun saja Jakarta cepat menjelma menjadi kota dagang, kota pelabuhan, kota pelajar, kota wisata, kota pemerintahan, dan sebagainya. Karena “segudang prestasi” itulah maka banyak pendatang ikut memakai bahasa Betawi setibanya di Jakarta. Mereka pulalah yang membawa bahasa baru itu ke kampung halamannya ketika mudik. Itulah sebabnya semakin tahun pengguna bahasa Betawi semakin bertambah, seiring derasnya arus urbanisasi ke Jakarta.

Fonologi

Dibandingkan bahasa Indonesia, sistem fonologi bahasa Betawi mempunyai kekhususan, yakni muncul vokal akhir e pada kata-kata dalam bahasa Indonesia berupa vokal a. Selain itu tidak munculnya konsonan h pada semua perbendaharaan kata. Misalnya apa menjadi ape, rumah menjadi rume, dsb.

Sebagaimana bahasa Indonesia, bahasa Betawi juga banyak menyerap kata-kata asing. Kata-kata ini pun tetap dibetawikan, misalnya kata-kata Arab Abdullah dan Fatimah menjadi Dule atau Dulo dan Fatime. Lalu kata-kata Cina, seperti gua (saya) menjadi gue. Ternyata kata-kata seperti inilah yang lebih populer, meskipun kerap disebut bahasa pasaran.

Sistem morfologi bahasa Betawi juga memiliki kekhususan. Awalan me dan ter dalam bahasa Indonesia, tidak tampak dalam bahasa Betawi, namun luluh menjadi ngdanke. Misalnya mengambil menjadi ngambil atau tertawa menjadi ketawa. Sementara itu, akhiran i dan kan dalam bahasa Indonesia, berubah menjadi akhiran in. Sebagai contoh, dipukuli menjadi dipukulin atau mengumpulkan menjadi ngumpulin.

Menurut penelitian Muhadjir (1987), dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, luas daerah pemakaian Bahasa Betawi jauh melebihi wilayah administratif DKI Jakarta. Tiga provinsi sejak pemekaran, tercatat memakai bahasa Betawi, yakni Banten (Tangerang dsk), Jawa Barat (Bekasi, Bogor, dsk), di samping DKI Jakarta sendiri.

Uniknya, Bahasa Betawi di luar DKI Jakarta memiliki dua subdialek, yakni dialek dalam kota (sering disebut Betawi Tengahan) dan dialek pinggiran (Betawi Pinggiran). Perbedaannya adalah masyarakat Betawi Tengahan menggunakan vokal e untuk kata-kata yang dalam bahasa Indonesia dilaksanakan dengan vokal a atau ah (saya-aye, rumah-rume, dsb). Sedangkan pada Betawi Pinggiran saya menjadi sayah, apa menjadi apah, dsb. Oleh berbagai kalangan, kaum Betawi Pinggiran sering disebut Jakarta Kowek atau Betawi Ora karena dipengaruhi bahasa Jawa. Kata ora (Bahasa Jawa, tidak) sendiri diucapkan kaum Betawi Tengahan dengan kagak atau nggak.

Saat ini, dengan semakin modernnya berbagai jenis alat komunikasi, kata-kata Betawi sangat mudah ditemukan dan didengar. Apalagi melalui siaran radio dan televisi. Sebagai “bahasa nasional” kedua, bahasa Betawi juga sering digunakan media-media cetak nasional dan daerah, baik dalam judul maupun isi tulisan. Keberadaan bahasa Betawi semakin didukung oleh maraknya penerbitan media remaja, seperti majalah, novel pop, dan novel teenlit.

Tidak dimungkiri sampai sejauh ini pendukung bahasa Betawi, bukan hanya etnis Betawi atau penduduk asli kota Jakarta. Namun juga seluruh warga Jakarta, orang-orang yang pernah datang ke Jakarta, dan mereka yang terpengaruh oleh media-media Jakarta, termasuk berbagai jenis hiburannya. Boleh dikatakan, hampir seluruh remaja atau pelajar di seluruh Indonesia pernah mengucapkan logat Betawi, baik secara sadar maupun tidak sadar.

Bahkan gaya percakapan Betawi cukup banyak terdengar di mancanegara. “...beberapa kata seperti ngapain, biarin, dong, dsb sudah luas dipakai dan tidak asing bagi generasi muda Malaysia di kota-kota besar,” kata seorang konsul sebagaimana dikutip Muhadjir (1986).

Banyak warga daerah dan mancanegara kini sudah akrab dengan kata-kata seperti dong, deh, kek, kok, si, lo, kan, gara-gara,boro-boro, mentang-mentang, begadang, biarin, ngapain, rasain lu, kayak,dan gimana. Tidak dimungkiri, nantinya bahasa Betawi akan lebih menonjol daripada bahasa Indonesia karena Jakarta adalah barometer segalanya, termasuk dalam hal berbahasa. Bisa jadi bahasa Betawi akan menjadi bahasa terbesar kedua di Indonesia, bahkan bahasa gaul yang paling diminati di antara bahasa-bahasa besar lainnya.***

Penulis: Djulianto Susantio

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun