Perkembangan Jakarta yang begitu pesat, bisa diamati dari komposisi penduduk Jakarta pada abad XIX. Menurut sensus 1819, penduduk Jakarta terdiri atas 14.139 budak, 11.845 orang Cina, 7.720 orang Bali, 3.331 orang Jawa dan Sunda, 3.151 orang Melayu dari luar Jakarta, 2.208 orang Eropa, serta sejumlah kecil orang Arab, dsb (Muhadjir, 1976).
Dalam bilangan tahun saja Jakarta cepat menjelma menjadi kota dagang, kota pelabuhan, kota pelajar, kota wisata, kota pemerintahan, dan sebagainya. Karena “segudang prestasi” itulah maka banyak pendatang ikut memakai bahasa Betawi setibanya di Jakarta. Mereka pulalah yang membawa bahasa baru itu ke kampung halamannya ketika mudik. Itulah sebabnya semakin tahun pengguna bahasa Betawi semakin bertambah, seiring derasnya arus urbanisasi ke Jakarta.
Fonologi
Dibandingkan bahasa Indonesia, sistem fonologi bahasa Betawi mempunyai kekhususan, yakni muncul vokal akhir e pada kata-kata dalam bahasa Indonesia berupa vokal a. Selain itu tidak munculnya konsonan h pada semua perbendaharaan kata. Misalnya apa menjadi ape, rumah menjadi rume, dsb.
Sebagaimana bahasa Indonesia, bahasa Betawi juga banyak menyerap kata-kata asing. Kata-kata ini pun tetap dibetawikan, misalnya kata-kata Arab Abdullah dan Fatimah menjadi Dule atau Dulo dan Fatime. Lalu kata-kata Cina, seperti gua (saya) menjadi gue. Ternyata kata-kata seperti inilah yang lebih populer, meskipun kerap disebut bahasa pasaran.
Sistem morfologi bahasa Betawi juga memiliki kekhususan. Awalan me dan ter dalam bahasa Indonesia, tidak tampak dalam bahasa Betawi, namun luluh menjadi ngdanke. Misalnya mengambil menjadi ngambil atau tertawa menjadi ketawa. Sementara itu, akhiran i dan kan dalam bahasa Indonesia, berubah menjadi akhiran in. Sebagai contoh, dipukuli menjadi dipukulin atau mengumpulkan menjadi ngumpulin.
Menurut penelitian Muhadjir (1987), dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, luas daerah pemakaian Bahasa Betawi jauh melebihi wilayah administratif DKI Jakarta. Tiga provinsi sejak pemekaran, tercatat memakai bahasa Betawi, yakni Banten (Tangerang dsk), Jawa Barat (Bekasi, Bogor, dsk), di samping DKI Jakarta sendiri.
Uniknya, Bahasa Betawi di luar DKI Jakarta memiliki dua subdialek, yakni dialek dalam kota (sering disebut Betawi Tengahan) dan dialek pinggiran (Betawi Pinggiran). Perbedaannya adalah masyarakat Betawi Tengahan menggunakan vokal e untuk kata-kata yang dalam bahasa Indonesia dilaksanakan dengan vokal a atau ah (saya-aye, rumah-rume, dsb). Sedangkan pada Betawi Pinggiran saya menjadi sayah, apa menjadi apah, dsb. Oleh berbagai kalangan, kaum Betawi Pinggiran sering disebut Jakarta Kowek atau Betawi Ora karena dipengaruhi bahasa Jawa. Kata ora (Bahasa Jawa, tidak) sendiri diucapkan kaum Betawi Tengahan dengan kagak atau nggak.
Saat ini, dengan semakin modernnya berbagai jenis alat komunikasi, kata-kata Betawi sangat mudah ditemukan dan didengar. Apalagi melalui siaran radio dan televisi. Sebagai “bahasa nasional” kedua, bahasa Betawi juga sering digunakan media-media cetak nasional dan daerah, baik dalam judul maupun isi tulisan. Keberadaan bahasa Betawi semakin didukung oleh maraknya penerbitan media remaja, seperti majalah, novel pop, dan novel teenlit.
Tidak dimungkiri sampai sejauh ini pendukung bahasa Betawi, bukan hanya etnis Betawi atau penduduk asli kota Jakarta. Namun juga seluruh warga Jakarta, orang-orang yang pernah datang ke Jakarta, dan mereka yang terpengaruh oleh media-media Jakarta, termasuk berbagai jenis hiburannya. Boleh dikatakan, hampir seluruh remaja atau pelajar di seluruh Indonesia pernah mengucapkan logat Betawi, baik secara sadar maupun tidak sadar.
Bahkan gaya percakapan Betawi cukup banyak terdengar di mancanegara. “...beberapa kata seperti ngapain, biarin, dong, dsb sudah luas dipakai dan tidak asing bagi generasi muda Malaysia di kota-kota besar,” kata seorang konsul sebagaimana dikutip Muhadjir (1986).