Bahasa nasional kita adalah bahasa Indonesia. Produk hukumnya terdapat dalam materi UUD 1945. Dikatakan bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia.
Namun, dalam praktik sehari-hari, penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar, belum sepenuhnya dipatuhi masyarakat. Hal ini sering kita lihat dalam teks-teks media cetak, buku, dan penerbitan lain.Â
Yang paling jelas tampak dari berbagai bahasa lisan, termasuk acara wawancara atau dialog di media elektronik. Meskipun berstatus pejabat negara atau ahli bahasa, mereka sesekali menyelipkan kata-kata seperti nggak, lho, banget, dong, dan biarin.
Memang, hal demikian sah-sah saja. Bahasa pasaran selalu lebih mudah dimengerti oleh masyarakat awam ketimbang bahasa formal. Buat masyarakat Jakarta sendiri, kata-kata itu tidak asing lagi.
Kenyataan ini membuktikan bahwa bahasa Betawi mampu menggusur bahasa Indonesia. Sejak lama dialek Jakarta ini memang sudah akrab di telinga masyarakat dari berbagai kalangan dan daerah. Bahkan bule-bule yang bisa berbahasa Indonesia pun, tidak sungkan-sungkan menyelipkan dialek Jakarta.  Â
Pakar Bahasa Indonesia Anton M. Moeliono (1981) pernah meramalkan bahwa selang satu dua generasi, ragam bahasa kota Jakarta akan menjadi dasar bagi bahasa Indonesia baku yang mantap. Pendapatnya itu didasarkan atas kecenderungan umum di antara kalangan masyarakat untuk berorientasi ke kota Jakarta.
Sebelumnya, Ben Anderson (1966) mengatakan bahwa bahasa Indonesia akan berkembang menjadi ragam bahasa kromo, sedangkan bahasa Betawi berlaku sebagai ngoko-nya. Muhadjir (1976) juga memerkirakan bahwa bahasa Betawi pada masanya akan berkembang menjadi ragam bahasa Indonesia substandar.
Bahasa Indonesia dan bahasa Betawi sebenarnya sama-sama tumbuh dari bahasa Melayu. Sejak bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa nasional pada 1928, maka bahasa Indonesia dipakai untuk komunikasi formal.
Untuk keperluan lain yang kurang formal, seperti untuk pengembangan bahasa surat kabar dan bahasa percakapan sehari-hari yang santai, bahasa Betawi lah yang digunakan. Bahasa Betawi menjadi perhatian utama karena pusat pemerintahan berada di Jakarta, meskipun sebenarnya dari sudut pandangan ilmiah penyebutan bahasa Betawi atau dialek Betawi kurang cocok. Yang dipandang lebih mengena adalah bahasa Melayu dialek Jakarta.
Berbeda dengan bahasa-bahasa daerah dan dengan bahasa Melayu lainnya, seperti bahasa Melayu Riau dan bahasa Melayu Banjar, dialek Melayu Jakarta tidak didukung oleh kelompok etnis yang sama atau etnis tertentu. Karena Jakarta merupakan kota yang multi etnis, maka  penggunanya tidak terbatas pada etnis Betawi saja.
Hal ini tentunya berhubungan erat dengan sejarah masa lalu Jakarta. Sebagai kota pelabuhan sejak berabad-abad lampau, Jakarta telah menjadi magnet bagi bermacam-macam sukubangsa untuk datang ke kota ini. Dalam berinteraksi, kaum pendatang itu mau tidak mau harus berkomunikasi dalam Bahasa Betawi.