Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Dewi Sri, Penguasa Padi pada Masyarakat Agraris

19 Desember 2016   11:58 Diperbarui: 19 Desember 2016   12:06 4562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dewi Sri koleksi Museum Sonobudoyo (Repro Fontein, 1990)

Sejak lama di Jawa sudah dikenal upacara-upacara pertanian yang berkaitan dengan tanaman padi. Upacara tersebut dihubungkan dengan mitos asal mula padi dan tanaman lain yang penting bagi kehidupan. Cerita Dewi Sri di Jawa dan Nyi Pohaci Sang Hyang Sri di Sunda, dulu amat populer.

Ternyata, kedua cerita itu tidak lepas dari peran seorang tokoh dewi dalam agama Hindu, yaitu Dewi Sri atau Laksmi, sakti (isteri) Dewa Wisnu. Cerita tentang asal mula tumbuh-tumbuhan ini di Jawa sangat banyak versinya. Salah satu versi yang cukup terkenal adalah cerita Sri Mangunkuhan.

Dikisahkan, Batara Guru jatuh cinta pada seorang wanita bernama Ken Tisnawati. Namun Ken Tisnawati mengajukan syarat yang cukup berat. Karena itu Batara Guru marah dan selanjutnya mengutus orang suruhannya untuk mengejar Ken Tisnawati ke mana pun dia pergi. Ken Tisnawati pun merasa tidak tenang hidupnya, sehingga akhirnya dia meninggal.

Anehnya, dari kuburannya lalu keluar berbagai jenis tanaman. Padi keluar dari tubuhnya, kelapa dari kepalanya, jagung dari giginya, pisang dari telapak tangannya, dsb (Hariani Santiko, 1980).

Mitos tentang terjadinya tumbuh-tumbuhan ini juga terdapat pada beberapa daerah di Indonesia. Inti mitos tersebut hampir semuanya sama, yakni tumbuh-tumbuhan berasal dari tubuh seorang wanita. Mitos seperti ini menjadi menarik karena berhubungan dengan pemujaan kesuburan, yang terutama terdapat pada kebudayaan agraris di seluruh dunia yang sudah sangat tua usianya.

Adanya tokoh wanita sebagai peran utama dalam proses terjadinya tumbuh-tumbuhan, menurut arkeolog Hariani Santiko, erat hubungannya dengan tokoh Dewi Ibu dalam kebudayaan agraris yang dianggap “melahirkan” segala sesuatu di dunia ini, termasuk tumbuh-tumbuhan yang dibutuhkan oleh manusia.

Selain itu, mencerminkan tokoh yang “dikorbankan” sebagai lambang atau perumpamaan dari biji tanaman. Mungkin kita sudah tahu kalau biji tanaman harus pecah atau hancur terlebih dulu, baru kemudian tumbuh tunas muda.

Lambang

Upacara kesuburan biasanya dilaksanakan kalau akan menanam padi. Ini dimaksudkan agar hasil panen menjadi berlipat ganda. Untuk keperluan upacara tersebut dibuatlah patung-patung wanita dari berbagai bahan, seperti batu, logam, tulang, tanduk, dan gading. Karena yang dipentingkan unsur kesuburan, maka patung-patung tersebut dibuat dengan ciri-ciri seks (pinggul, buah dada, perut, dsb) dalam ukuran berlebihan. Di samping patung, dijumpai pula lambang-lambang dari Dewi Ibu, seperti bentuk alat kelamin serta gambar-gambar abstrak , antara lain bulatan, bentuk daun, dan kunci.

Pada masyarakat agraris, Dewi Ibu dianggap personifikasi dari tanah karena tanah “melahirkan” tanam-tanaman yang dibutuhkan oleh manusia. Pada masa bercocok tanam, Dewi Ibu sering kali dipuja bersama dengan pasangannya, pria. Lingga (lambang alat kelamin pria) dan yoni (lambang alat kelamin wanita) kemudian berjalan beriringan karena pada prinsipnya persatuan keduanya melambangkan kehidupan.

Di samping lingga yoni masih ada beberapa jenis “benda” yang dihubungkan dengan pemujaan kesuburan. Pertama, air. Air merupakan unsur terpenting di dalam proses kesuburan karena air diidentifikasikan sebagai “sperma” atau “air mani” untuk memberi “kesuburan” pada Dewi Ibu. Kedua, darah. Darah adalah tanda-tanda kesuburan dari rahim wanita. Banyak artefak arkeologi yang ditemukan memiliki ciri-ciri berwarna merah, sebagai tanda-tanda kehidupan atau kesuburan. Ketiga, wanita telanjang dengan berbagai bentuk alat kelaminnya.

Patung

Cerita tertua yang menghubungkan Dewi Sri dengan tumbuh-tumbuhan khususnya padi adalah kitab Tantu Panggelaran dari abad XV-XVI.  Pada kitab ini, biji-bijian atau tumbuh-tumbuhan tidak berasal dari tubuh Dewi Sri, melainkan dari tembolok burung milik dewi tersebut.

Meskipun kisah Dewi Sri cukup populer, beberapa data arkeologi menunjukkan bahwa Dewi Sri belum dianggap sebagai dewi yang khusus menguasai padi pada masyarakat Jawa kuno. Memang, banyak temuan arkeologi berupa cincin mengandung tulisan “Sri”. Namun dari hurufnya diperkirakan cincin tersebut berasal dari abad VII-IX, jauh sebelum mitos Dewi Sri dikenal. Lagi pula, hurufnya sering kali diberi kombinasi dengan mantera “Om”. Jadi berhubungan dengan ritual keagamaan, bukan dengan pertanian.

Di Jawa Timur, antara Madiun dengan Gunung Semeru, banyak dijumpai bangunan kecil yang disebut “lumbung”. Pada atapnya sering kali terdapat tulisan “Sri”. Groeneveldt berpendapat bahwa bangunan-bangunan kecil tersebut dipergunakan untuk upacara di sawah, memuja Dewi Sri penguasa padi. Namun Stutterheim lebih condong menghubungkan Sri dengan usaha mencapai moksa atau kelepasan jiwa. Tidak adanya kesamaan pendapat tentu saja menyulitkan kesimpulan terhadap Dewi Sri.

Biarpun begitu mitos Dewi Sri sebagai penguasa padi sangat melegenda pada abad XV-XVI dan abad-abad kemudian. Ini mungkin karena adanya sejumlah penemuan Dewi (Sri?) sedang memegang setangkai padi. Cerita turun-temurun mengatakan, dulu upacara penanaman dan panen padi selalu berlangsung meriah. Masyarakat benar-benar menghormati Dewi Sri dan Dewi Ibu sehingga negeri kita berjulukan “Gemah ripah loh jinawi”. Bahkan, kita sering mengalami surplus beras sehingga diekspor ke berbagai negara sebagaimana berita-berita kuno.

Candi Barong

Dalam arkeologi, Sri merupakan perwujudan sakti (isteri) Wisnu. Wisnu merupakan salah satu dewa tertinggi dalam trimurti yang bertugas memelihara alam. Sri selalu dihubungkan dengan unsur keberuntungan dan kemakmuran. Sri juga dikenal dengan sebutan ardhra, yaitu yang selalu memberi kesan segar dan hidup seperti tanaman.

Sebutan Sri yang lain adalah kairisin, yang berarti selalu melimpahi dengan pupuk (kandang), bhuti yang berarti selalu diharapkan untuk melimpahkan kemakmuran, serta jwalantin, yang selalu bersinar terang. Berkaitan dengan hal tersebut, sebagaimana buku Dewa-Dewi Masa Klasik Jawa Tengah (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, 2009), maka Sri kemudian dipuja di kalangan masyarakat agraris, tidak ketinggalan pula di kalangan masyarakat Jawa.

Sebaliknya di India, Sri tidak terlalu populer jika dibandingkan dengan Laksmi. Masyarakat Jawa Tengah Kuna memang lebih mengenal Sri sebagai sakti Wisnu dari pada Laksmi. Pada periode itu, keberadaan Dewi Sri lebih populer dari pada Laksmi. Terdapat anggapan  adanya pemujaan terhadap Wisnu dan sakti-nya Sri pada masa Jawa Tengah Kuna.

Candi Barong, di selatan Candi Prambanan dan tidak jauh dari Kraton Baka, merupakan candi yang diasumsikan sebagai tempat pemujaan bagi Wisnu dan sakti-nya Sri.  Penggambaran Sri sebagai sakti Wisnu pada periode Jawa Tengah Kuna ditandai dengan laksana setangkai bulir padi pada tangan kirinya, sebagaimana ditunjukkan oleh arca perunggu yang merupakan penggambaran Dewi Sri koleksi Museum Sonobudoyo, Yogyakarta.

Dewi Sri digambarkan duduk di atas padmasana dengan sikap sattwaparyangkasana. Dewi tersebut memiliki dua tangan. Tangan kanan bersikap waradahastamudra, sedangkan tangan kiri memegang setangkai padi. Kedudukannya sebagai dewi ditunjukkan dengan hadirnya sirascakra (halo). Ia digambarkan mengenakan jatamakuta, kundala, hara, channawira, keyura, kankana, dan urudamaj. Keberadaan unsur padi inilah yang kemungkinan menyebabkan Dewi Sri didudukkan sebagai Dewi Padi.

Kini rupanya Dewi Ibu dan Dewi Sri sedang murka. Banyak kekeringan, hama, dan juga kebanjiran terjadi di mana-mana. Akibatnya hasil padi dan pertanian lain gagal mencapai target.  Jadilah penderitaan rakyat bertambah berat.

Dari dulu kita adalah negara agraris. Tetapi sayang, segala perhatian tentang pertanian masih minim. Untuk itu kita perlu sekali menghormati Dewi Ibu dan Dewi Sri. Misalnya dengan menyebarkan bibit yang bagus, pupuk yang berkualitas, dan juga sistem irigasi yang terkontrol dengan baik. Mungkin dengan begitu rakyat kita akan hidup makmur.***

Penulis: Djulianto Susantio

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun