Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Dewi Sri, Penguasa Padi pada Masyarakat Agraris

19 Desember 2016   11:58 Diperbarui: 19 Desember 2016   12:06 4562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Patung

Cerita tertua yang menghubungkan Dewi Sri dengan tumbuh-tumbuhan khususnya padi adalah kitab Tantu Panggelaran dari abad XV-XVI.  Pada kitab ini, biji-bijian atau tumbuh-tumbuhan tidak berasal dari tubuh Dewi Sri, melainkan dari tembolok burung milik dewi tersebut.

Meskipun kisah Dewi Sri cukup populer, beberapa data arkeologi menunjukkan bahwa Dewi Sri belum dianggap sebagai dewi yang khusus menguasai padi pada masyarakat Jawa kuno. Memang, banyak temuan arkeologi berupa cincin mengandung tulisan “Sri”. Namun dari hurufnya diperkirakan cincin tersebut berasal dari abad VII-IX, jauh sebelum mitos Dewi Sri dikenal. Lagi pula, hurufnya sering kali diberi kombinasi dengan mantera “Om”. Jadi berhubungan dengan ritual keagamaan, bukan dengan pertanian.

Di Jawa Timur, antara Madiun dengan Gunung Semeru, banyak dijumpai bangunan kecil yang disebut “lumbung”. Pada atapnya sering kali terdapat tulisan “Sri”. Groeneveldt berpendapat bahwa bangunan-bangunan kecil tersebut dipergunakan untuk upacara di sawah, memuja Dewi Sri penguasa padi. Namun Stutterheim lebih condong menghubungkan Sri dengan usaha mencapai moksa atau kelepasan jiwa. Tidak adanya kesamaan pendapat tentu saja menyulitkan kesimpulan terhadap Dewi Sri.

Biarpun begitu mitos Dewi Sri sebagai penguasa padi sangat melegenda pada abad XV-XVI dan abad-abad kemudian. Ini mungkin karena adanya sejumlah penemuan Dewi (Sri?) sedang memegang setangkai padi. Cerita turun-temurun mengatakan, dulu upacara penanaman dan panen padi selalu berlangsung meriah. Masyarakat benar-benar menghormati Dewi Sri dan Dewi Ibu sehingga negeri kita berjulukan “Gemah ripah loh jinawi”. Bahkan, kita sering mengalami surplus beras sehingga diekspor ke berbagai negara sebagaimana berita-berita kuno.

Candi Barong

Dalam arkeologi, Sri merupakan perwujudan sakti (isteri) Wisnu. Wisnu merupakan salah satu dewa tertinggi dalam trimurti yang bertugas memelihara alam. Sri selalu dihubungkan dengan unsur keberuntungan dan kemakmuran. Sri juga dikenal dengan sebutan ardhra, yaitu yang selalu memberi kesan segar dan hidup seperti tanaman.

Sebutan Sri yang lain adalah kairisin, yang berarti selalu melimpahi dengan pupuk (kandang), bhuti yang berarti selalu diharapkan untuk melimpahkan kemakmuran, serta jwalantin, yang selalu bersinar terang. Berkaitan dengan hal tersebut, sebagaimana buku Dewa-Dewi Masa Klasik Jawa Tengah (Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah, 2009), maka Sri kemudian dipuja di kalangan masyarakat agraris, tidak ketinggalan pula di kalangan masyarakat Jawa.

Sebaliknya di India, Sri tidak terlalu populer jika dibandingkan dengan Laksmi. Masyarakat Jawa Tengah Kuna memang lebih mengenal Sri sebagai sakti Wisnu dari pada Laksmi. Pada periode itu, keberadaan Dewi Sri lebih populer dari pada Laksmi. Terdapat anggapan  adanya pemujaan terhadap Wisnu dan sakti-nya Sri pada masa Jawa Tengah Kuna.

Candi Barong, di selatan Candi Prambanan dan tidak jauh dari Kraton Baka, merupakan candi yang diasumsikan sebagai tempat pemujaan bagi Wisnu dan sakti-nya Sri.  Penggambaran Sri sebagai sakti Wisnu pada periode Jawa Tengah Kuna ditandai dengan laksana setangkai bulir padi pada tangan kirinya, sebagaimana ditunjukkan oleh arca perunggu yang merupakan penggambaran Dewi Sri koleksi Museum Sonobudoyo, Yogyakarta.

Dewi Sri digambarkan duduk di atas padmasana dengan sikap sattwaparyangkasana. Dewi tersebut memiliki dua tangan. Tangan kanan bersikap waradahastamudra, sedangkan tangan kiri memegang setangkai padi. Kedudukannya sebagai dewi ditunjukkan dengan hadirnya sirascakra (halo). Ia digambarkan mengenakan jatamakuta, kundala, hara, channawira, keyura, kankana, dan urudamaj. Keberadaan unsur padi inilah yang kemungkinan menyebabkan Dewi Sri didudukkan sebagai Dewi Padi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun