Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pemugaran Candi untuk Kepentingan Pariwisata dan Pendidikan

13 Desember 2016   05:20 Diperbarui: 13 Desember 2016   06:46 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Candi Sojiwan setelah dipugar (Sumber: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah)

Sejak runtuhnya kerajaan-kerajaan kuno bercorak Hindu dan Buddha di Indonesia, seperti Mataram, Singhasari, Sriwijaya, dan terakhir Majapahit, candi tidak berfungsi lagi. Diperkirakan, candi terakhir didirikan pada abad ke-14 hingga ke-16, saat kerajaan Majapahit mengalami kemunduran.

Candi adalah sebutan untuk jenis bangunan purbakala yang sebagian terbesar tersebar di Pulau Jawa. Umumnya candi berujud kuil yang berdiri sendiri ataupun berkelompok. Sebagian lagi berupa bangunan berbentuk gapura beratap, gapura tidak beratap serta petirtaan yang dilengkapi kolam dan arca pancuran. Kata candi sendiri berasal dari salah satu nama untuk Dewi Durga (isteri Dewa Siwa) sebagai Dewi Maut, yaitu Candika.

Tertimbun

Karena ditinggalkan para pendukungnya, banyak candi kemudian tertimbun oleh tanah, semak belukar, rerumputan, dan pasir. Mungkin sebagai dampak dari gempa bumi, letusan gunung berapi, dan bencana alam lainnya. Dari ribuan candi yang diperkirakan pernah ada, baru sekitar 200-an yang sudah muncul ke permukaan. Itu pun dalam keadaan berantakan atau tidak utuh. Ironisnya, sebagian besar lebih menyerupai onggokan batu daripada bentuk runtuhan bangunan.

Menurut catatan sejarah, orang yang pertama kali menguak keberadaan candi adalah C.A. Lons. Ketika mengikuti perjalanan Gubernur Coyet dari Semarang ke Keraton Mataram di Kartasura pada 1733, dia melakukan pencatatan terhadap candi-candi di Desa Prambanan.

Selanjutnya usaha untuk mengangkat kembali candi-candi yang rusak dan runtuh ke permukaan, baru nyata pada abad ke-19. Pelopornya adalah Raffles yang waktu itu menjabat Gubernur Jenderal Inggris di Hindia Belanda. Setelah terbentuknya  Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala) pada 1913, penanganan candi pun semakin digiatkan.

Saat itu kesulitan utama menangani candi disebabkan batu-batunya sudah tidak lengkap lagi. Maklum selama ratusan tahun, sejumlah kerajaan mengalami kekosongan pemerintahan. Tambahan lagi, banyak gempa bumi dan gunung meletus melanda Jawa. Juga erosi dan bencana alam lainnya, termasuk ulah manusia.

Karena bangunan candi tidak menggunakan semen atau perekat—dalam hal ini antarbatu hanya dihubungkan dengan pengait—tentu saja lebih mudah berantakan. Tragisnya karena ketidaktahuan, banyak penduduk dan pegawai pemerintahan Hindia Belanda, sering memanfaatkan batu-batu candi yang berserakan di tanah untuk bahan bangunan, seperti pondasi rumah, tembok pabrik, pengerasan jalan, dan pembangunan irigasi.

Pemugaran

Seandainya tidak ada pekerjaan pemugaran, bisa jadi keanggunan dan keindahan Candi Borobudur dan Candi Prambanan tidak akan bisa dinikmati generasi sekarang. Kita mungkin hanya akan menyaksikan serakan batu atau tumpukan batu tak karuan. Jadi kalau ada pertanyaan, “Mengapa candi-candi harus dipugar?”, jawabannya adalah supaya orang yang melihatnya menjadi tertarik.

Sasaran utama yang ingin dicapai lewat pemugaran memang adalah agar candi dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Dengan itu diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kepada masyarakat akan masa lampau, sekaligus membuka kemungkinan pengembangan pariwisata.

Candi Sojiwan sebelum dipugar (Sumber: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah)
Candi Sojiwan sebelum dipugar (Sumber: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah)
Dalam arkeologi, pemugaran berarti mengembalikan kembali bentuk suatu candi sejauh mungkin ke dalam ujudnya semula. Sudah tentu pemugaran candi sangat membutuhkan batu-batu aslinya. Penggunaan batu asli merupakan syarat mutlak pemugaran. Kekecualian diberikan kalau batu-batu aslinya tidak ditemukan lagi, sehingga boleh digunakan batu-batu baru asalkan diberi tanda khusus.

Sangat disayangkan, hingga saat ini puluhan candi tidak mungkin bisa dipugar lagi karena batu-batunya sudah raib atau mungkin hancur. Meskipun begitu, pemugaran candi tetap dilakukan di atas kertas dengan cara mereka-reka bentuk candi berdasarkan data dan perbandingan dengan candi-candi lain. Disadari betul, banyak candi yang berujud serakan batu tetap menjadi dokumentasi penting bagi perjalanan sejarah kebudayaan Indonesia.

Karena banyak kehilangan batu, pemugaran Candi Borobudur dan Candi Prambanan pernah dilakukan beberapa tahap dengan rentang waktu puluhan tahun dan biaya milyaran rupiah. Untungnya, karena sudah dianggap milik dunia, maka banyak negara berpartisipasi dalam pemugaran kedua candi. Kalau hanya berharap dari anggaran pemerintah Indonesia, kemungkinan besar kedua candi tetap terbengkalai hingga kini. Bahkan, kalau pemugaran tidak segera dilakukan, batu-batunya bisa hilang karena diambili penduduk yang masih awam terhadap kepurbakalaan.

Pendidikan

Apakah pemugaran saja sudah cukup untuk menjaga kelestarian candi, tentu saja masih belum. Selama ini pemugaran baru dilihat dari dimensi ekonomi, yakni berupa kegiatan kepariwisataan. Padahal seharusnya kegiatan kepariwisataan lebih bersifat pemanfaatan saja. Yang paling penting, upaya pemugaran harus dilihat dari dimensi pendidikan, yakni agar dapat dilihat oleh generasi sekarang dan generasi mendatang untuk maksud pembelajaran.

Selain dana, kendala terbesar dalam pemugaran adalah lokasi candi berada di tempat-tempat terpencil. Menurut kepercayaan kuno memang lokasi candi harus berdekatan dengan tempat para dewa bercengkerama. Karena itu puncak dan lereng bukit, daerah kegiatan vulkanik, dan dataran tinggi banyak dipilih. Konon semakin tinggi suatu daerah, semakin dekat pada dewa yang dipuja. Karena terisolasi, tentu saja sulit dimasuki berbagai peralatan berat.

Hingga kini banyak masalah tentang candi belum terungkap jelas, misalnya siapakah pendiri candi (apakah orang India ataukah orang Indonesia), kapan candi didirikan (sesuai isi prasasti ataukah sumber lain), apa maksud pendirian candi (sebagai pemakaman ataukah sebagai kuil), dsb. Namun pemugaran tetap merupakan hal terpenting karena merupakan bukti nyata bahwa kita bersungguh-sungguh melestarikan warisan budaya nenek moyang.***

Penulis: Djulianto Susantio

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun