Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kenalkan Dunia Arkeologi kepada Anak-anak Lewat Wahana Edukasi

10 Desember 2016   05:51 Diperbarui: 11 Desember 2016   11:28 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak lama, banyak berita tentang arkeologi yang menyedihkan menghiasi media-media cetak dan daring kita. Tulisan-tulisan itu antara lain arca Buddha asal Candi Borobudur dilelang di luar negeri, arca kuno dicuri dari bangunan candi, peninggalan purbakala dipenuhi corat-coret, harta karun laut dijarah sindikat internasional, koleksi museum dipalsukan, temuan batu purba terbengkalai di tengah sawah, situs kuno dibuldoser, bangunan bersejarah digusur, dan masih banyak lagi.

Memang, ada juga berita menggembirakan. Misalnya Candi Prambanan pasca gempa selesai dipugar, seorang petani menemukan struktur bangunan kuno, pemerintah akan membangun sejumlah museum, UNESCO kagumi warisan budaya Indonesia, dsb. Namun tidak dipungkiri, kisah menyedihkan justru lebih banyak mendominasi pemberitaan dibandingkan kisah menggembirakan. Tidak disangsikan, berbagai perbuatan negatif itu terjadi karena ilmu arkeologi belum dikenal luas oleh masyarakat.

Sebenarnya, sejak lama upaya memperkenalkan arkeologi kepada masyarakat giat dilakukan oleh berbagai pihak. Namun, tetap saja usaha untuk mengurangi perbuatan negatif menjadi persoalan pelik hingga sekarang. Di satu pihak, tidak seluruh masyarakat mengenal dan/atau mencintai arkeologi. Di lain pihak, masyarakat lebih tergiur benda-benda kuno yang dipandang memiliki nilai komersial tinggi dibandingkan ilmunya.

Meskipun arkeologi memiliki “mitra kerja” yang utama, yakni museum, tapi nasib museum pun tak ubahnya arkeologi. Museum sebagai etalase dunia arkeologi jarang sekali didatangi pengunjung. Mungkin karena terjadi salah kaprah terhadap pengertian museum. Banyak orang awam menganggap museum hanyalah gudang penyimpanan barang-barang kuno belaka, bukan tempat tempat untuk menggali ilmu pengetahuan.

Berbeda dengan Indonesia, di sejumlah negara maju memperkenalkan arkeologi dan museum sekaligus merupakan persoalan sederhana karena sasarannya adalah para guru dan pelajar. Di sana arkeologi dan museum tidak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan. Karena itu banyak masyarakat sudah memiliki pengertian dan kesadaran akan benda-benda arkeologi. Jadinya, upaya untuk meredam segala perbuatan negatif lebih mudah ditangani (Museum dan Anak-anak, 1991).

Tidak dipungkiri kalau sejak lama di Indonesia setiap sekolah sudah mempunyai program tetap berupa karya wisata (study tour), antara lain mengunjungi berbagai museum menjelang berakhirnya tahun ajaran. Sayang sekali, kunjungan tersebut tidak terkoordinasi dengan baik. Justru di kala kunjungan itu, para siswa sering berlarian ke sana ke mari. Bukannya mencatat atau mendengarkan pemandu museum.

Seharusnya kunjungan itu dibimbing oleh pemandu yang terlatih. Dengan demikian, para murid akan berkonsentrasi kepada koleksi museum. Penjelasan yang menarik tentu saja akan membangkitkan minat anak untuk mencintai museum sekaligus arkeologi.

Ekskavasi
Arkeologi atau ilmu purbakala sering didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari segala hal tentang masa lampau manusia melalui benda-benda budaya yang ditinggalkannya. Benda-benda arkeologi sendiri banyak macamnya. Namun pada dasarnya terbagi atas dua jenis. Pertama, benda-benda yang tidak dapat dipindahkan atau berukuran besar (benda tak bergerak). Contohnya candi, masjid, benteng, kraton, dan pura. Karena besarnya, artefak-artefak itu dilindungi dalam sebuah museum terbuka (open air museum) atau museum lapangan (site museum).

Kedua, benda-benda yang dapat dipindahkan atau berukuran kecil (benda bergerak). Contohnya arca, keramik, fosil, mata uang, alat rumah tangga, perhiasan, senjata, naskah kuno, dan alat upacara. Karena dapat dipindahkan atau berukuran kecil, artefak-artefak kuno tersebut disimpan di dalam museum (tertutup).

Artefak-artefak yang disimpan sekaligus dilestarikan di dalam museum terbuka dan museum tertutup dimaksudkan untuk memberikan informasi ilmu pengetahuan kepada masyarakat masa kini dan masa mendatang.

Namun, umumnya benda-benda arkeologi masih berada di dalam tanah. Karena itu, arkeologi mengembangkan metode penelitian khusus yang disebut ekskavasi (penggalian). Tujuan utama ekskavasi adalah untuk mencari “harta karun” ilmu pengetahuan yang masih tersembunyi atau terpendam.

Ekskavasi oleh arkeolog bukanlah sembarang menggali seperti yang sering dilakukan kuli bangunan. Ekskavasi mempunyai teknik dan sistem ilmiah sehingga tidak merusak data arkeologi yang serba terbatas itu.

Bagaimana mengupas tanah, membersihkan benda temuan, melakukan dokumentasi, menganalisisnya di laboratorium, merekonstruksi benda-benda pecah, dan memamerkannya di dalam museum harus diterangkan secara detil. Perjalanan benda-benda arkeologi sejak masih berada di dalam tanah hingga tersaji dalam lemari etalase museum itulah yang patut diketahui masyarakat.

Perlu dijelaskan pula kepada mereka, menangani suatu temuan arkeologi membutuhkan waktu lama. Meneliti suatu benda memerlukan kajian mendalam. Melalui cerita yang menarik dan sederhana, diharapkan masyarakat akan paham bagaimana para arkeolog bekerja di lapangan dan di kantor.

Sebaiknya museum memiliki ruang khusus untuk praktek arkeologi para siswa. Harus disediakan pula berbagai perangkat kerja arkeologi, seperti tanah dan replika benda-benda arkeologi. Praktek itu harus bersifat edutainment, artinya pendidikan melalui permainan.

Karena adanya “benda-benda temuan” itu, tentu murid akan lebih mudah menyerap pengetahuan yang diberikan. Pembuatan laboratorium arkeologi mini dapat dilakukan oleh museum-museum besar dan kecil sepanjang memiliki koleksi arkeologi.

Dengan menjadi arkeolog amatir, bukan tidak mungkin derajat arkeologi dan museum terangkat olehnya. Di Inggris sudah lama dilakukan penyuluhan arkeologi yang kontinyu disertai perekrutan tenaga-tenaga arkeolog amatir cilik. Di sana disiplin Public Archaeology atau Arkeologi Publik sudah berkembang dengan baik. Karena itu mereka mampu membawa citra arkeologi dan museum ke tingkat internasional. Mudah-mudahan kita bisa demikian, sehingga kekayaan budaya kita tidak akan lari lagi ke mancanegara atau digondoli pencuri barang antik. Justru semakin terlindungi karena masyarakat mulai terapresiasi dengan arkeologi dan museum.

Kidzania
Apa yang dilakukan Kidzania Jakarta sungguh menarik. Pusat rekreasi anak ini beberapa bulan lalu membuka wahana baru bernama Combantrin Archaeological Site Kidzania Jakarta. Di wahana ini, anak-anak mendapat kesempatan mengenal dunia arkeologi dan paleontologi.

"Kami melakukan research sebelumnya untuk mengemas wahana ini menjadi wahana edukasi yang menarik untuk anak," kata Chief Marketing Officer Kidzania Jakarta Faisal Reza, Kamis, 14 Juli 2016, sebagaimana ditulis dalam laman tempo.co.

Sebagai pusat rekreasi anak berkonsep edutainment—mendidik sekaligus menghibur—wahana baru ini menyuguhkan petualangan yang menyenangkan. Sebelum memulai petualangan menjadi arkeolog dan paleontolog, anak-anak akan mengenakan baju safari lengkap dengan topi bulat ala arkeolog di lapangan. Mereka mendapat satu set alat ekskavasi, seperti sekop dan beberapa kuas berbagai ukuran. Setelah itu diberi penjelasan tentang dunia arkeologi dan paleontologi, seperti apa pekerjaannya, apa saja yang ditemukan di lapangan nanti, dan tugas-tugas yang harus dilakukan saat penggalian (sumber).

Setelah menggali dan menemukan artefak atau ekofak berupa fosil hewan pada kotak galian, anak-anak akan membawa temuan mereka ke laboratorium arkeologi. Mereka kemudian menyusun temuan-temuan yang menyerupai puzzledan menganalisis temuan lewat buku-buku yang tersedia di laboratorium tersebut.***

Penulis: Djulianto Susantio

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun