Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Gajah Mada, "Kapolri" dari Kerajaan Majapahit

24 November 2016   16:32 Diperbarui: 25 November 2016   02:36 3637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Institusi kepolisian sering mendapat sorotan. Beberapa tahun lalu ada kasus ‘cicak’ dan ‘buaya’.  Yang terbaru adalah masalah mantan penyidik KPK yang terkena Saber pungli.

Kalau saja Mahapatih Gajah Mada masih hidup, mungkin dia akan mengernyitkan dahi. Terlalu banyak persoalan pelik di negara ini yang menyangkut institusi kepolisian. Gajah Mada memang tidak bisa dilepaskan dari institusi kepolisian. Buktinya adalah di depan halaman Markas Besar Kepolisian RI didirikan Monumen Gajah Mada.

Monumen Gajah Mada diciptakan oleh Mikail Wowor dan diresmikan oleh Presiden Sukarno pada 1 Juli 1962. Sebagaimana kita tahu, setiap 1 Juli selalu diperingati sebagai Hari Bhayangkara atau Hari Kepolisian RI.

Gajah Mada dianggap tokoh panutan karena memiliki gagasan dan cita-cita tinggi untuk mempersatukan bangsa Indonesia lewat sumpah ‘Amukti Palapa’. Gajah Mada pun dipandang tokoh negarawan ulung. Dia banyak menurunkan pedoman kesatriaan bagi pejuang-pejuang bangsa.

Pada masa kebesaran Kerajaan Majapahit, Gajah Mada adalah pemimpin pasukan bhayangkari. Pasukan elit ini selalu mendasarkan tindakannya kepada Tribrata dan Catur Prasetya,yang kemudian diserap oleh institusi kepolisian kita. 

Pasukan Bhayangkari adalah pengawal setia Kerajaan Majapahit. Nama bhayangkari inilah yang kemudian dipakai oleh korps kepolisian kita, hanya dengan sedikit perubahan menjadi bhayangkara.   

Sebenarnya nama bhayangkari merupakan adaptasi dari bahasa Sansekerta ke dalam bahasa Jawa Kuno. Arti sesungguhnya adalah hebat atau mengerikan. Dulu tujuan pembentukan pasukan bhayangkari adalah untuk melindungi rakyat dan kerajaan. Karena sudah populer, nama ini kemudian identik dengan nama kesatuan pengawal kerajaan.

Peran pasukan bhayangkari mulai mencuat manakala Jayanegara (1309-1328) diangkat menjadi raja. Ketika itu hampir terjadi pemberontakan di lingkungan istana. Peristiwa tersebut diakibatkan oleh beberapa pengalasan wineh (pengawas yang diistimewakan) yang merasa tidak puas dengan penobatan Jayanegara. Oleh karena itu, sebagaimana pemberitaan dari naskah kuno Pararaton, mereka berkomplot untuk menggulingkan raja.

Sewaktu Jayanegara dinobatkan, patih amungkubhumi dijabat oleh Nambi. Sekonyong-konyong pada 1326 Mahapati mendekati dan “mengompori” Nambi. Dia bercerita bahwa sebenarnya Raja Jayanegara tidak suka kepadanya. Karena itu dia menasehati agar Nambi meminta cuti dan tinggal di Lumajang. Kebetulan ketika itu ayah Nambi meninggal, sehingga Jayanegara memberi izin.

Sebenarnya, ini merupakan taktik jahat Mahapati. Kepada raja, justru Mahapati mengatakan bahwa Nambi enggan kembali ke Majapahit. Bahkan Nambi telah merencanakan persiapan untuk memberontak, dibantu oleh pembesar-pembesar Majapahit yang pernah melayat ke sana.

Jayanegara yang percaya kepada cerita bohong Mahapati lalu mengirim pasukan ke Lumajang. Nambi berhasil dibunuh. Menurut Kidung Sorandaka sehabis perang Lumajang, Mahapati diangkat menjadi patih amangkubhumi menggantikan Nambi. Kitab Nagarakretagama dan Pararaton mencatat, Perang Lumajang itu berlangsung pada 1316.

Ulah Mahapati membuka jalan bagi Kuti untuk melakukan kudeta terhadap Raja Jayanegara. Namun berkat upaya anggota bekel bhayangkari (pasukan pengawal raja) bernama Gajah Mada, Kuti berhasil dibunuh, sementara raja dapat diselamatkan. Sebagai anugerah dari raja, Gajah Mada kemudian diangkat menjadi patih di Kahuripan, selanjutnya di Daha sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Palungan (1330) dan Prasasti Batur (angka tahunnya tidak terbaca).

Selama menjadi pimpinan bhayangkari, Gajah Mada berhasil menumpas beberapa pemberontakan di Kerajaan Majapahit. Berkat pasukan bhayangkari pula, Kerajaan Majapahit mampu meluaskan ekspansinya ke luar Jawa hingga ke mancanegara. Karena prestasinya itu, Gajah Mada kemudian dinaikkan jabatannya menjadi Mahapatih.

Tindakan yang pertama kali dilakukan Gajah Mada sejak menjadi mahapatih adalah memperkuat angkatan perang kerajaan, baik di daratan maupun di lautan. Selain itu, untuk memajukan kesejahteraan negara, Gajah Mada membentuk jawatan-jawatan yang sebelumnya tidak dikenal. Yang paling populer adalah Jawatan Pekerjaan Umum, dengan tugas utama memelihara dan membangun candi, keraton, dan gedung pemerintah.

Demikian juga dengan pembentukan Jawatan Pengadilan. Fungsi jawatan ini adalah untuk benar-benar menegakkan supremasi hukum. Diberitakan bahwa Jawatan Pengadilan selalu bahu-membahu dengan pasukan bhayangkari. Hal ini didukung oleh penegakan hukum yang benar-benar berdasarkan undang-undang. Bahkan setiap sidang dipimpin oleh para pengadil yang paham betul akan kitab sastra, sekaligus kitab hukum dan kitab keagamaan. 

Kitab hukum

Di bawah Gajah Mada, Kerajaan Majapahit benar-benar menegakkan hukum. Hal ini bisa dilihat dari informasi sejumlah data tekstual atau sumber tertulis, seperti prasasti dan naskah kuno. Majapahit kelak akan menjadi cikal bakal negara Indonesia seutuhnya.

Menurut sumber-sumber tertulis itu, siapa yang bersalah akan dihukum dan dijerat dengan undang-undang yang bertumpu pada Kutaramanawadharmmasastra. Meskipun berasal dari India, undang-undang itu dipandang sangat bermanfaat untuk masyarakat. Undang-undang lokal juga dibuat, yang terjemahannya dipublikasikan oleh Prof. Slametmuljana (Perundang-undangan Madjapahit, 1967). Selama beberapa abad Kerajaan Majapahit maju pesat dan terkenal sampai mancanegara.

Menurut sejumlah prasasti dan naskah kuno pula, struktur pemerintahan dan birokrasi pada zaman Kerajaan Majapahit tergolong lengkap dan teratur. Struktur pemerintahan di sana mencerminkan adanya kekuasaan yang bersifat teritorial dan disentralisasikan dengan birokrasi yang terinci. Hal demikian terjadi karena adanya pengaruh kepercayaan yang bersifat kosmologi. Berdasarkan konsepsi itu, maka seluruh Kerajaan Majapahit disamakan dengan dewa tertinggi yang bersemayam di puncak Mahameru.

Artinya demikian, wilayah Kerajaan Majapahit yang terdiri atas negara-negara daerah, disamakan dengan tempat tinggal para dewa Lokapala yang terletak di keempat penjuru mata angin. Raja yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia memegang otoritas politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam melaksanakan pemerintahan, raja dibantu oleh sejumlah pejabat birokrasi. Kelompok paling terkenal bernama bhatāra saptaprabhu yang merupakan sebuah pahom narendra, yaitu suatu lembaga yang merupakan “Dewan Pertimbangan Kerajaan” sebagaimana disebutkan Kidung Sundayana dan Kitab Nagarakretagama (Sejarah Nasional Indonesia II, 1984).

Bhatāra saptaprabhu beranggotakan keluarga kerajaan. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, yang menjabat sebagai Dewan Pertimbangan Kerajaan adalah raja, permaisuri, ayah-bunda raja, paman raja, dua adik perempuan raja beserta suaminya.

Pejabat lain yang mendukung pemerintahan adalah “Dewan Menteri” yang berfungsi sebagai “Badan Pelaksana Pemerintahan”. Di bawahnya ada Dharmmodhyaksa, yakni pejabat tinggi kerajaan yang bertugas menjalankan fungsi yurisdiksi keagamaan. Pejabat-pejabat itu dikelompokkan dalam dua golongan, yaitu golongan untuk urusan agama Buddha dan golongan untuk urusan agama Siwa (Hindu).

Sejajar dengan dharmmodhyaksa adalah pejabat kehakiman yang disebut dharmmopapatti. Pada masa Jawa Kuna, masalah-masalah hukum diselesaikan oleh pejabat-pejabat kehakiman. Meskipun tidak banyak data tekstual yang menuliskan tentang masalah hukum—karena sebagian besar prasasti tentang hukum masih belum terbaca—namun gambaran demikian sudah memberi bukti bahwa hukum sudah benar-benar ditegakkan oleh kerajaan dan ditaati oleh masyarakat.

Sebagai ‘Kapolri’ Gajah Mada mampu membangkitkan Kerajaan Majapahit. Mudah-mudahan Kapolri di era sekarang juga mampu berbuat seperti Gajah Mada, termasuk aparat-aparat penegak hukum lainnya.***

Penulis: Djulianto Susantio

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun