Koleksi kayu juga memerlukan tindakan konservasi. Kerusakan pada koleksi kayu kebanyakan disebabkan oleh faktor lingkungan, seperti biologi (misalnya serangan serangga), manusia (misalnya vandalisme), dan kelembaban udara.Â
Perawatan koleksi kayu dilakukan sesuai dengan sifat dasar kayu yang berupa materi organik. Prinsip utamanya tidak boleh menggunakan air. Umumnya penyakit kayu disebabkan adanya mikroorganisme yang hidup dalam selulosa kayu. Materi ini merupakan makanan untuk kelangsungan hidup mikroorganisme. Maka, cara yang terpenting adalah memusnahkan mikroorganisme atau serangga yang ada di dalam koleksi tersebut.Â
Beda lagi dengan konservasi keramik. Perawatan keramik secara garis besar dibagi menjadi tiga tahapan, yakni preventif (membersihkan keramik dari kotoran dan debu), kuratif (membersihkan endapan garam dan kapur menggunakan bahan kimia), dan restorasi (perbaikan keramik yang rusak, pecah,dan mengganti bagian yang hilang).
Khusus untuk keramik yang rapuh, perlu dilakukan konsolidasi terlebih dulu. Biasanya dengan memasukkan suatu zat kimia pada pori-pori benda sehingga mineral-mineral yang ada dapat saling mengikat. Tujuannya untuk menguatkan kembali struktur keramik.
Perlakuan khusus juga diberikan kepada keramik-keramik temuan dari dalam laut. Hal ini karena keramik-keramik tersebut mengandung garam-garaman yang sangat  membahayakan koleksi.Â
Para konservator ibarat tukang servis perabotan yang bekerja dalam sunyi. Perannya sangat besar karena memperindah koleksi, memperbaiki koleksi, dan memperpanjang umur koleksi. Dibutuhkan keahlian dan pengalaman, karena yang ditangani bukan sembarang benda tetapi benda bernilai sejarah tinggi. Benda-benda itu merupakan bukti kejayaan nenek moyang untuk diwariskan kepada generasi mendatang.***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H