Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Blusukan dan Kulineran ala Arkeologi

2 November 2016   07:31 Diperbarui: 2 November 2016   12:05 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasti banyak yang belum tahu apa yang disebut rujak Shanghai. Berbeda dengan rujak kebanyakan, rujak Shanghai tidak berisi buah atau sayur macam kol, tauge, nanas, dan mangga. Melainkan berisi kangkung, lobak, cumi-cumi dan ubur-ubur yang diguyur saos tomat dan bubuk kacang tanah. Ditambah minuman sarsaparila cap badak buatan Pematangsiantar, rasanya, hmmm… lezat… Meskipun berlima, kami cuma memesan satu porsi. Maklum masih banyak sasaran kuliner lain.

Dari sini kami jalan lagi. Tujuan berikutnya rumah makan tempo doeloe “Lao Hoe”. Tempat ini memang kecil tapi banyak ragam makanan dijual. Rupanya bagian belakang merupakan rumah tinggal. Rumah makan ini terletak di Jalan Pancoran 5/10, tapi lebih populer Gang Kalimati Glodok.

Bergaya dikit (Dokpri)
Bergaya dikit (Dokpri)
Kami memesan seporsi mie belitong, laksa, gorengan, dan minuman. Rumah makan ini unik. Libur setiap Kamis kecuali tanggal merah. Saya sempat ke kamar mandi. Pintunya unik karena terbagi atas dua bagian. Kunci bagian dalamnya juga unik. Kalau umumnya ke samping, di kamar mandi ini justru ke atas.

Blusukan tetap diteruskan, meskipun perut terasa berat. Melihat-lihat rumah berarsitektur Tionghoa termasuk wihara kuno. Jalan Toko Tiga Seberang terlewati. Kembali menuju Jalan Pancoran dan mampir di Pancoran Tea House yang belum lama diresmikan. Sebelumnya di tempat ini berdiri Apotheek Chung Hwa yang berdiri pada 1928.

Gedung itu berlantai dua, jadi lebih mewah daripada rumah-rumah makan yang kami datangi sebelumnya. Karena berada di kawasan kota tua, gedung cagar budaya itu diibaratkan pintu gerbang menuju kawasan kota tua. Kami memesan dua teko teh dan dua porsi makanan kecil.

Kunjungan terakhir di Pancoran Tea House (Dokpri)
Kunjungan terakhir di Pancoran Tea House (Dokpri)
Pancoran Tea House menjadi kunjungan terakhir kami. Hari sudah sore, sekitar pukul 15.00. Banyak kesan bertemu dengan teman-teman lama. Penuh canda dan kehangatan. Semoga keakraban ini tidak cepat berlalu. Masih ada kesempatan lain. Siapa tahu peserta wisata blusukan dan kulineran ala arkeologi berikutnya akan bertambah.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun