Minggu pagi, 30 Oktober 2016 ketika membuka WA seorang rekan satu angkatan, Candrian, menulis, “Dju dan Bert hari ini saya tunggu di taman fatahillah jam 10. Si Ajung mau gabung.” Masih di WA, seorang adik kelas juga menulis, “Eh...kita pada janjian di Kota Tua ni ari...ama Candrian juga...Yuuks jam 10...”.
Pukul 09.00 saya pun berangkat ke sana. Namun sayang rekan Berty, sesama Kompasianer, tidak bisa ke sana. “Gak ikutan dulu,” katanya dalam pesan WA. Biasanya Berty, Candrian, dan saya memang selalu blusukan dan kulineran bersama. Berpindah-pindah tempat dan berganti-ganti menu. Kadang di kawasan Pancoran, kadang di Tamansari, bahkan pernah di Ragusa. Kami bertiga satu angkatan, sama-sama lulusan Jurusan Arkeologi UI.
Berty lama sebagai jurnalis di Sinar Harapan yang kemudian berubah menjadi Suara Pembaruan. Setelah pensiun, ia menulis di beberapa media. Sejak beberapa tahun lalu, ia aktif menulis di blog publik Kompasiana.
Saya sendiri hanya penulis lepas, sering menulis di berbagai media cetak. Saya juga punya blog pribadi tentang arkeologi dan museum. Baru Agustus lalu saya bergabung dengan Kompasiana.
Perjalanan dimulai dari Kedai Pos di Taman Fatahillah. Sesampainya di sana, selain Candrian, sudah menunggu Erry dan Oya. Keduanya adalah adik kelas saya yang kece. Erry pejabat di Kemdikbud, sementara Oya wiraswasta yang sekarang tinggal di Yogya. Kami cuma minum ringan.
Blusukan dan kulineran memang itulah tujuan kami. Kami berjalan menuju Pancoran. Candrian yang lama bersentuhan dengan kawasan kota tua menjadi pemandu. Tempat pertama yang kami singgahi adalah Kopi Es Tak Kie.
Kedai buka pukul 07.00 sampai 14.00. Mungkin karena Hari Minggu, sekitar pukul 11.00 kedai sudah tutup. Kami berempat sempat makan lontong capgomeh dan segelas teh hangat. Kopinya, yang katanya melegenda, ternyata sudah habis.
Usai dari sini kami berjalan lagi. Rujak Shanghai tujuan berikutnya. Keluar dari Tak Kie bertambah lagi satu orang, Ajung. Kalau saya dan Candrian angkatan 79, sementara Erry dan Oya angkatan 84, Ajung adalah angkatan 86. Angkatannya paling kecil, tapi badannya paling gede.
Pasti banyak yang belum tahu apa yang disebut rujak Shanghai. Berbeda dengan rujak kebanyakan, rujak Shanghai tidak berisi buah atau sayur macam kol, tauge, nanas, dan mangga. Melainkan berisi kangkung, lobak, cumi-cumi dan ubur-ubur yang diguyur saos tomat dan bubuk kacang tanah. Ditambah minuman sarsaparila cap badak buatan Pematangsiantar, rasanya, hmmm… lezat… Meskipun berlima, kami cuma memesan satu porsi. Maklum masih banyak sasaran kuliner lain.
Dari sini kami jalan lagi. Tujuan berikutnya rumah makan tempo doeloe “Lao Hoe”. Tempat ini memang kecil tapi banyak ragam makanan dijual. Rupanya bagian belakang merupakan rumah tinggal. Rumah makan ini terletak di Jalan Pancoran 5/10, tapi lebih populer Gang Kalimati Glodok.
Blusukan tetap diteruskan, meskipun perut terasa berat. Melihat-lihat rumah berarsitektur Tionghoa termasuk wihara kuno. Jalan Toko Tiga Seberang terlewati. Kembali menuju Jalan Pancoran dan mampir di Pancoran Tea House yang belum lama diresmikan. Sebelumnya di tempat ini berdiri Apotheek Chung Hwa yang berdiri pada 1928.
Gedung itu berlantai dua, jadi lebih mewah daripada rumah-rumah makan yang kami datangi sebelumnya. Karena berada di kawasan kota tua, gedung cagar budaya itu diibaratkan pintu gerbang menuju kawasan kota tua. Kami memesan dua teko teh dan dua porsi makanan kecil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H