Uang kertas pada umumnya berbentuk segi empat dan merupakan hasil pencetakan (print). Di antara ketiga jenis uang itu, uang logam paling banyak variasinya. Bahan yang digunakan adalah emas, perak, tembaga, perunggu, kuningan, timah, nikel, atau campuran dari bahan-bahan itu. Penggunaan bahan biasanya tergantung nilai nominal. Uang bernilai kecil tentu saja menggunakan bahan-bahan yang relatif murah, seperti tembaga dan timah. Lain halnya yang bernominal tinggi. Sering kali emas dan perak menjadi pilihan utama.
Uang logam kuno pun dibedakan menurut jenisnya, yakni koin, uang ‘jagung’, uang ‘ma’, ingot, dan bonk. Koin, berbentuk pipih melingkar, segitiga hingga segi delapan. Ada yang mempunyai amulet, lubang bulat atau persegi di tengahnya dan ada pula yang tidak. Nama khusus untuk koin dengan amulet adalah kepeng atau gobog. Koin biasanya dibuat dengan teknik tempa (strike), cetak (cast), tekan (press), atau gabungan ketiganya. Pada koin tercantum nilai nominal, tahun pengeluaran, dan nama atau simbol (negara, raja, atau kerajaan yang mengeluarkannya). Koin yang hanya memiliki satu muka berhias disebut uniface. Tempat atau perusahaan pembuat koin disebut mint, sementara tanda khusus pada koin disebut mint mark.
Nama yang cukup unik adalah uang jagung. Umumnya terbuat dari emas atau perak. Kadang-kadang ditemukan dari bahan perunggu. Disebut uang jagung karena berbentuk mirip bulir jagung, yakni mendekati bundar dengan cekungan rendah pada salah satu sisinya. Di Asia Tenggara jenis uang ini dikenal dengan nama piloncito,berasal dari nama seorang peneliti numismatik Filipina. Seperti uang ma, pada uang jagung tidak tertera nilai nominalnya. Uang ini digunakan pada abad ke-7 hingga ke-17 di Jawa dan Sumatera.
Bonk, berbentuk potongan-potongan logam dalam ukuran dan berat tertentu tanpa keterangan nilai nominal dan tahun pengeluarannya. Tulisan yang ada berupa nama atau simbol yang erat berhubungan dengan negara, raja atau kerajaan yang mengeluarkan. Nilai bonk ditentukan oleh berat dan jenis logam yang digunakan. Semakin berat dan semakin mahal jenis logam, semakin tinggi nilai tukarnya.
Menurut buku Vademekum Benda Cagar Budaya (2009), ingot berbentuk bongkahan. Kondisinya sama dengan bonk kecuali bentuknya yang kadang-kadang tidak sama. Ini karena yang dipentingkan adalah berat dan jenis logamnya.
Asal Kata 'Uang' atau 'Duit'
Kesalahan pemaknaan terjadi pada kata uang dan duit. Kata uang mungkin berasal dari ’wang’, yakni alat pembayaran yang terbuat dari emas. Emas digunakan untuk pembayaran 'barang mahal', seperti kambing. Sementara perak untuk pembayaran 'barang murah', seperti ayam. Untuk barang-barang lebih murah digunakan koin berbahan tembaga, besi, kuningan, dan lainnya.
Dugaan lain kata 'uang' berasal dari kata 'daluwang'. Daluwang adalah kertas yang dibuat dari kulit pohon, umumnya dikenal luas di Jawa Barat. Dulu uang ORI dibuat dari kertas daluwang. Dikabarkan, kata uang berasal dari bahasa Jawa 'wang' atau Bahasa Melayu 'uwang'.
Ada juga yang berpendapat kata 'uang' berasal dari 'wang', nama pecahan zaman dulu. Bahkan 'wang' dianggap nama orang, ahli keuangan Tiongkok, Wang An-shi (1076). Uang emas Tiongkok dari zaman Wang An-shi pernah beredar di Nusantara.
Setelah uang emas dan uang perak menghilang karena diganti uang kertas, kata ’uang’ dan ’duit’ berubah penggunaannya menjadi sebutan untuk semua alat tukar. Bedanya, kata ’uang’ digunakan untuk menyebut alat tukar secara formal, sebaliknya kata ’duit’ hanya digunakan dalam bahasa pergaulan.
Padanan ’uang’ yakni ’duit’ diyakini berasal dari kata doit, yakni sebutan bagi uang receh kuno Eropa dari abad ke-14. Pada awalnya, doit terbuat dari bahan perak dengan nilai tukar setara dengan 1/8 stuiver. Pada abad ke-14 itu 1 gulden = 20 stuiver, jadi 1 gulden = 160 doit.