Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama Artikel Utama

Dokter Goenawan: Jabatan Pemerintah Idealnya Dipegang Orang Berpendidikan, Bukan Berdasarkan Keturunan

26 Oktober 2016   18:56 Diperbarui: 27 Oktober 2016   14:22 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Dokter Goenawan Mangoenkoesoemo Idealnya Jabatan Pemerintahan Dipegang oleh Orang Berpendidikan, Tidak Berdasarkan Keturunan

Kalau mendengar nama Mangoenkoesoemo, pasti ingatan kita akan tertuju kepada Tjipto Mangoenkoesoemo atau dalam ejaan sekarang Cipto Mangunkusumo. RSCM atau Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sudah dikenal luas di Jakarta. Sebenarnya ada lagi satu nama Mangoenkoesoemo, sayang kurang populer. Dia adalah Goenawan Mangoenkoesoemo atau Gunawan Mangunkusumo. Gunawan adalah adik Cipto. Keduanya sama-sama dokter lulusan STOVIA, Sekolah Kedokteran Bumiputera saat itu.

Kini Gedung STOVIA menjadi Museum Kebangkitan Nasional. Terletak di Jalan Abdul Rahman Saleh No. 26, Jakarta Pusat, tidak jauh dari RSPAD Gatot Subroto. Di museum itu pula Selasa, 25 Oktober 2016, diselenggarakan diskusi tokoh Goenawan Mangoenkoesoemo dengan narasumber Prof. Djoko Marihandono, sarjana Sastra Perancis yang mengambil doktor bidang Sejarah dan Wasmi Alhaziri, Sejarawan Partikelir lulusan Jurusan Sejarah FSUI.  

Goenawan Mangoenkoesoemo tidak bisa dilepaskan dari proses pendirian organisasi Boedi Oetomo (Budi Utomo) pada 20 Mei 1908. Memang yang kemudian lebih dikenal adalah Dokter Soetomo. Namun peran penting Goenawan tidak boleh diabaikan. Duet Soetomo-Goenawan mampu menghidupkan organisasi Boedi Oetomo. Apalagi kemudian Goenawan menjadi ipar Soetomo.

Siapakah Goenawan Mangoenkoesoemo? Semoga ringkasan dari makalah Djoko Marihandono dan Wasmi Alhaziri ditambah beberapa sumber lain ini, menjadikan masyarakat umum mengenal sosok Goenawan Mangoenkoesoemo.

Masa kecil Goenawan

Goenawan lahir pada 1888 di Jepara dari pasangan keluarga priyayi. Ia anak ke-3 dari delapan bersaudara.  Ayahnya seorang guru bahasa Melayu di sekolah dasar pribumi di Ambarawa.  Goenawan mewarisi jiwa pejuang dari kakeknya, Mangoensastro, seorang abdi Pangeran Diponegoro.

Mangoenkoesoemo menjadi salah satu keluarga yang aktif mengirimkan anak-anaknya untuk mengikuti pendidikan kedokteran di STOVIA, yakni Tjipto, Goenawan, Darmawan, dan Kartono. Mereka tidak hanya menjalankan peran sebagai dokter, tetapi sebagai aktivis pergerakan pada masa kebangkitan nasional.

Goenawan masuk STOVIA pada 10 Januari 1903, setelah menamatkan pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS). Ia dikenal pelajar yang cerdas. Perhatian dan pembelaan Goenawan terhadap penderitaan masyarakat terus berkembang. Awal di STOVIA Goenawan mulai mengkritik kemapanan dalam kalangan priyayi, sehingga membuat priyayi dan pejabat pemerintah Hindia Belanda cemas.

Sejak berumur 15 tahun Goenawan sudah menulis di koran Java Bode. Ia sering mengkritik kebijakan pengangkatan bupati yang sangat diskriminatif. Pada masa itu bupati diangkat berdasarkan faktor keturunan. Menurut Goenawan, idealnya jabatan-jabatan dalam pemerintahan dipegang oleh orang berpendidikan, dengan harapan mereka mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Goenawan mendorong lahirnya kalangan priyayi baru, yaitu priyayi yang tidak berdasarkan keturunan tetapi pendidikan.

Sayang yah pada masa kini Politik Dinasti semakin tumbuh subur. Lihat saja sejumlah pemimpin kita. Suami, isteri, anak, dan menantu ikut-ikutan mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Ada dua kemungkinan yang menyebabkan sebuah dinasti berupaya tetap memimpin suatu daerah, yakni enak (orangtuanya enak jadi bupati, maka anaknya pun harus jadi bupati) dan kesinambungan (orangtuanya mempunyai program, maka anaknya pun harus meneruskan program tersebut). Politik Dinasti tentu saja menyuburkan praktik KKN di tanah air.

Kembali ke kiprah Goenawan yah. Perhatian Goenawan terhadap penderitaan masyarakat tidak pernah surut. Karena itu saat Soetomo mengajaknya terlibat dalam proses pendirian organisasi Boedi Oetomo, dia menyambut baik.  Dalam organisasi Boedi Oetomo, Goenawan menjabat Sekretaris II. 

Tugas Goenawan sebagai Sekretaris II sangat berat, karena mengemban kewajiban untuk membela organisasi Boedi Oetomo dari serangan dan kecaman orang yang tidak menyukainya.  Aktivitas Goenawan semakin sibuk menjelang berlangsungnya kongres Boedi Oetomo di Yogyakarta, karena mendapatkan tanggung jawab untuk mengatur akomodasi peserta kongres, menyusun peraturan-peraturan kongres, menyusun teks pidato pembukaan kongres, menjadi pembicara dalam kongres, dan menemui Regent Karanganyar R.A.A. Tirtokoesoemo untuk meminta dukungan dan kesediaan hadir dalam kongres.

Kongres Boedi Oetomo di Yogyakarta menghasilkan keputusan yang kurang memuaskan, sehingga kelompok yang tidak sepaham dengan kebijakan perkumpulan keluar dari organisasi, Tjipto Mangoenkoesoemo salah satunya. Goenawan tetap bertahan menjadi anggota Boedi Oetomo, dengan harapan bisa membimbing para priyayi untuk tidak tunduk pada kemauan pemerintah Hindia Belanda. Goenawan menyadari sedalam-dalamnya bahwa sudah kewajiban mereka membimbing para priyayi supaya menghargai martabat sendiri sebagai orang merdeka.

Masa menjadi dokter

Goenawan menyelesaikan pendidikan kedokteran di STOVIA pada 11 April 1911 tanpa melalui proses ujian. Pemerintah langsung mengangkatnya menjadi Inlandsch Arts, karena pemerintah membutuhkan tenaga dokter untuk memberantas wabah penyakit pes di Malang. Selesai menjalankan tugasnya, Goenawan menikah dengan adik kandung Soetomo, yaitu R. Ay. Sriati.  Pasangan itu dikaruniai seorang puteri, yakni R.Ay. Opie Soematri, yang menikah dengan dr. Soehardi Hadjoloekito. Dari perkawinan anaknya itu Goenawan memperoleh tiga cucu.

Gedung STOVIA yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional (Dokpri)
Gedung STOVIA yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional (Dokpri)
Pada 1915 Goenawan diangkat menjadi asisten pengajar di STOVIA. Namun karena tekanan dari pimpinan yang dianggap mengekang kebebasannya, Goenawan memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai asisten pengajar.

Pada 1917 Goenawan melanjutkan pendidikan dokternya ke Belanda. Di sana Goenawan dengan leluasa bisa melanjutkan pendidikan sambil memperjuangkan cita-cita bangsanya. Goenawan mampu memberikan warna baru dalam organisasi Indische Vereeniging, bahkan dalam perkembangannya kemudian didaulat menjadi ketua organisasi.

Pada 20 Mei 1918 Goenawan memimpin perayaan Sepuluh Tahun Boedi Oetomo di Den Haag, Belanda. Perayaan tersebut dihadiri oleh masyarakat Hindia Belanda yang ada di Belanda, ditandai dengan peluncuran buku Soembangsih yang berisi kumpulan artikel. Dalam artikelnya, Goenawan menegaskan sumbangan Boedi Oetomo bagi bangsa. Menurutnya Boedi Oetomo merupakan langkah awal dari proses terbentuknya nasionalisme Indonesia.

Goenawan memperoleh diploma doktor pada 1920. Pulang dari Eropa, Goenawan ditempatkan di Palembang. Ia kembali terlibat aktif dalam dunia pergerakan, meskipun secara ekonomi sedang mengalami kesulitan. Umumnya pelajar dari Belanda yang kembali ke tanah air meninggalkan hutang cukup banyak, karena selama di Belanda biaya hidup cukup besar, sementara pendapatan tidak ada.

Goenawan pernah menasehati Soetomo, “Jangan mundur dari pergerakan karena kekurangan alat. Kerjalah terus bagi kepentingan nusa dan bangsa kita, saya sanggup dan bersedia memikul semua kewajibanmu, kewajiban kecil dan besar yang meminta pengeluaran uang. Jalanlah terus”. 

Ketika pertama kali menerbitkan majalah Soeloeh Indonesia, Goenawan mengirimkan bantuan beberapa ratus rupiah dengan wesel telegram. Menurut Soetomo, Goenawan bukan sekadar memberikan bantuan uang dan tenaga. Ia menyumbang cita-cita dan rohnya.

“Dari jauh ia mengikuti semua langkah saya, sehingga orang yang mengetahui hubungan ini mempunyai keyakinan bahwa saya ini hanya wayang, Goenawan dalangnya,” kata Soetomo.

Pada 1927-1928 Goenawan mendapat kesempatan kembali mengunjungi Belanda untuk mengadakan penelitian di bidang penyakit paru-paru. Ia sering mengadakan pertemuan dengan para pemuda.

Dari Belanda ia menulis surat kepada Soetomo, “Janganlah kamu sokong lagi segerombolan pemuda-pemuda itu, karena agaknya budinya sudah rusak. Di antara mereka, hanya Hatta yang boleh dihormati, meskipun pendirian kita berlainan. Hatta sungguh-sungguh mempunyai sifat dan tabiat yang boleh diharapkan kelak kemudian hari akan kebaikannya”.

Sekembali ke Tanah Air, Goenawan ditugaskan di Rumah Sakit Umum di Semarang.  Pada 1929 Goenawan meninggal. Ia dimakamkan di Ambarawa, Jawa Tengah.

Nah, begitulah biografi singkat dokter Goenawan Mangoenkoesoemo. Ia meninggal dalam usia muda, 41 tahun. Namun jasanya buat bangsa Indonesia cukup besar.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun