Beberapa hari terakhir ini media ramai mewartakan perihal penggandaan uang yang dilakukan pengelola Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi di Probolinggo (Jawa Timur). Taat Pribadi sendiri ditangkap karena tersangkut kasus pembunuhan terhadap dua anak buahnya. Kemungkinan besar Taat Pribadi takut kedua anak buahnya itu akan membocorkan rahasia padepokan.
Taat Pribadi memiliki sejumlah modus dalam kasus penggandaan uang. Ia selalu menyelenggarakan ritual mistis, misalnya menggunakan ‘air ajaib’ untuk mendapatkan uang berlimpah tiada habisnya. Menurut pengakuannya, air itu didapat secara gaib dengan melakukan ritual khusus. Karena itu anggota padepokan yang ingin mendapatkannya, harus mengeluarkan mahar minimal jutaan rupiah dan membeli perlengkapan ritual sekitar Rp 500.000 meliputi jimat berisi tulisan Arab, minyak, dan uang pemancing.
‘Keajaiban’ lain adalah soal peti khusus tempat menyimpan emas atau uang. Benda-benda berharga itu konon tidak akan pernah habis. Menurut bualan Taat Pribadi, ia mempunyai jin ifrit yang membantu penggandaan uang. Setelah penangkapan Taat Pribadi, sejumlah orang melapor ke polisi dan MUI menanyakan nasib uang mereka yang akan dilipatgandakan. Bahkan sejumlah orang enggan meninggalkan padepokan karena menunggu pencairan uang sebagaimana dijanjikan Taat Pribadi.
Masyarakat percaya kepada Taat Pribadi mungkin karena 11 Januari 2016 lalu ia mendapat gelar kehormatan Sri Raja Prabu Rajasa Nagara dari Asosiasi Kerajaan dan Kesultanan Indonesia (AKKI). Ketika itu penobatannya dihadiri puluhan tamu agung dari 24 kerajaan atau kesultanan dari berbagai daerah ditambah perwakilan dari Malaysia dan Thailand. Sri Raja Prabu Rajasa Nagara adalah gelar kebangsawanan yang prestisius. Sebelumnya gelar ini dimiliki Raja Majapahit termashur Hayam Wuruk. Ia bergelar Maharaja Sri Rajasa Nagara.
Di luar nalar
Kasus penggandaan uang, jelas merupakan ironi di luar nalar. Sepengetahuan penulis, urusan uang merupakan tugas dan fungsi Bank Indonesia sebagai otoritas satu-satunya di bidang keuangan. Termasuk istilah ‘urusan uang’ adalah mengeluarkan dan mengedarkan uang. Setiap uang resmi Bank Indonesia memiliki ciri khusus seperti ukuran, gambar, tanda air, dan nomor seri. Dari semuanya, yang terpenting tentu saja adalah nomor seri, yang umumnya terdiri atas tiga huruf diikuti enam angka.
Sebelum 1970 pada bagian belakang bawah uang kertas tertulis, “Barangsiapa meniru atau memalsukan dan barangsiapa mengeluarkan dengan sengaja atau menyimpan uang kertas tiruan atau uang kertas yang dipalsukan akan dituntut di muka hakim”. Setelah itu kalimatnya berubah menjadi, “Barang siapa meniru, memalsukan uang kertas dan/atau dengan sengaja menyimpan serta mengedarkan uang kertas tiruan atau uang kertas palsu diancam dengan hukuman penjara”.
Terpedaya
Entah mengapa, masyarakat termasuk kaum intelektual pun kadang terpedaya. Melipatgandakan uang dalam waktu singkat, jelas tidak masuk logika atau irrasional. Kecuali tentunya para pesulap beneran yang mampu menjadikan kertas kosong menjadi uang atau terus-menerus mengeluarkan uang dari ‘kantong saktinya’. Ini hanya terjadi di dunia hiburan karena kecepatan tangan sang pesulap. Jadi bukan bermotif ekonomi atau mencari keuntungan pribadi.
Rupa-rupanya trik-trik para pesulap beneran ini diikuti Taat Pribadi. Sebagaimana terlihat dari tayangan YouTube, Taat Pribadi sesekali meraba bagian belakang badannya. Tak lama kemudian, ia mengeluarkan segepok uang pecahan Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu serta menghamburkannya ke lantai. Bukan hanya itu, ia pun mengambil perhiasan emas dari badannya dan meletakkannya di lantai. Dari hasil investigasi, ada ‘kantong ajaib’ di balik jubah dan kursi singgasana. Setiap kantong mampu memuat uang sekitar Rp 50 juta. Kantong lain berisi perhiasan emas.
Ternyata uang itu dikeluarkan oleh Asosiasi Jutawan Internasional, bukan oleh Bank Sentral AS. Pencetakannya dimaksudkan sebagai cenderamata untuk kalangan numismatik internasional. Uang itu disebut Uang Impian atau Uang Fantasi. Ciri utamanya adalah tulisan Non-Negotiable (tidak dapat dipertukarkan) dan “sertifikat impian orang-orang AS” yang menonjol.
Di beberapa daerah, uang itu pernah digunakan untuk memperdayai orang. Misalnya mengajak tukar dengan kurs sangat rendah. Setelah si korban mendatangi bank, ternyata uangnya tidak laku. Sebagai benda koleksi, pada 1990-an uang fantasi itu berharga jual sekitar Rp20.000.
Seperti halnya uang fantasi, pada 1990-an uang-uang kertas dari beberapa negara Amerika Latin (Amerika Selatan), utamanya Brasil, juga sering dipakai untuk memperdayai orang. Masyarakat sering diiming-imingi dengan kurs tukar yang setara dengan dollar AS. Tumpukan uang Brasil malah pernah dipamerkan oleh seorang mantan tentara dari Cileungsi sebagai “harta karun Bung Karno” pada 2003 lalu.
Bersamaan dengan uang Brasil, “harta karun Bung Karno” lainnya adalah uang kertas Yugoslavia bernominal 5 miliar dan 10 miliar dinara. Uang itu dikeluarkan pada 1993, sebagaimana tertera pada salah satu sisi. Ketika itu Yugoslavia dicabik-cabik perang saudara. Akibatnya inflasi berlangsung terus-menerus sehingga nilai uang menjadi sangat kecil.
Dunia tipu-menipu di Indonesia pernah mengenal uang jenis lain, yakni ‘uang hitam’. Era kejadiannya sekitar 1990-an juga. Para pelaku adalah orang-orang Afrika yang berkunjung ke Indonesia. Modusnya adalah menukarkan ‘uang hitam’ itu dengan uang rupiah sungguhan. Mereka mengiming-imingi, sesampainya di rumah ‘uang hitam’ tersebut akan berubah menjadi dollar AS.
Memang banyak cara untuk memperdayai masyarakat, terutama yang ingin kaya secara cepat. Untuk itu kita harus waspada, memakai nalar dan logika sebaik mungkin. Jangan sampai terpedaya atau tertipu oleh kehebatan memakai spiritual dan agama. Semua harus dengan kerja keras dan kerja cerdas, bukan oleh hal-hal irrasional.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H