Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penggandaan Uang dan Tipu-menipu

11 Oktober 2016   16:02 Diperbarui: 11 Oktober 2016   16:16 346
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uang asli bernominal mahabesar. Tapi karena sering inflasi di Yugoslavia, maka nilainya menjadi mahakecil

Uang asli bernominal mahabesar. Tapi karena sering inflasi di Yugoslavia, maka nilainya menjadi mahakecil
Uang asli bernominal mahabesar. Tapi karena sering inflasi di Yugoslavia, maka nilainya menjadi mahakecil
Sebenarnya upaya penipuan menggunakan objek mata uang sudah terjadi sejak lama di Indonesia. Sekitar 1994, misalnya, di Jakarta pernah beredar uang kertas pecahan 1 juta dollar AS. Uang ini memiliki sertifikat keaslian. Lantas mengapa nominalnya begitu besar?

Ternyata uang itu dikeluarkan oleh Asosiasi Jutawan Internasional, bukan oleh Bank Sentral AS. Pencetakannya dimaksudkan sebagai cenderamata untuk kalangan numismatik internasional. Uang itu disebut Uang Impian atau Uang Fantasi. Ciri utamanya adalah tulisan Non-Negotiable (tidak dapat dipertukarkan) dan “sertifikat impian orang-orang AS” yang menonjol.

Di beberapa daerah, uang itu pernah digunakan untuk memperdayai orang. Misalnya mengajak tukar dengan kurs sangat rendah. Setelah si korban mendatangi bank, ternyata uangnya tidak laku. Sebagai benda koleksi, pada 1990-an uang fantasi itu berharga jual sekitar Rp20.000.

Seperti halnya uang fantasi, pada 1990-an uang-uang kertas dari beberapa negara Amerika Latin (Amerika Selatan), utamanya Brasil, juga sering dipakai untuk memperdayai orang. Masyarakat sering diiming-imingi dengan kurs tukar yang setara dengan dollar AS. Tumpukan uang Brasil malah pernah dipamerkan oleh seorang mantan tentara dari Cileungsi sebagai “harta karun Bung Karno” pada 2003 lalu.

Sisi sebaliknya dari uang kertas Yugoslavia
Sisi sebaliknya dari uang kertas Yugoslavia
Uang Brasil umumnya dicetak sekitar 1970-an. Selama beberapa kali pemerintah Brasil memang pernah mendevaluasi mata uangnya. Maklum negara sepakbola itu kerap dirundung inflasi berkepanjangan. Jadi hampir setiap tahun pemerintah Brasil mengeluarkan mata uang baru. Ketika itu setiap 7 cruzeiro setara dengan Rp 1. Karena jumlahnya terlalu banyak, uang-uang yang tersisa diekspor ke berbagai negara untuk kepentingan kolektor.

Bersamaan dengan uang Brasil, “harta karun Bung Karno” lainnya adalah uang kertas Yugoslavia bernominal 5 miliar dan 10 miliar dinara. Uang itu dikeluarkan pada 1993, sebagaimana tertera pada salah satu sisi. Ketika itu Yugoslavia dicabik-cabik perang saudara. Akibatnya inflasi berlangsung terus-menerus sehingga nilai uang menjadi sangat kecil.

Dunia tipu-menipu di Indonesia pernah mengenal uang jenis lain, yakni ‘uang hitam’. Era kejadiannya sekitar 1990-an juga. Para pelaku adalah orang-orang Afrika yang berkunjung ke Indonesia. Modusnya adalah menukarkan ‘uang hitam’ itu dengan uang rupiah sungguhan. Mereka mengiming-imingi, sesampainya di rumah ‘uang hitam’ tersebut akan berubah menjadi dollar AS.

Memang banyak cara untuk memperdayai masyarakat, terutama yang ingin kaya secara cepat. Untuk itu kita harus waspada, memakai nalar dan logika sebaik mungkin. Jangan sampai terpedaya atau tertipu oleh kehebatan memakai spiritual dan agama. Semua harus dengan kerja keras dan kerja cerdas, bukan oleh hal-hal irrasional.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun