Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Belajar dari Museum DPR agar Jauh dari Korupsi

20 September 2016   09:01 Diperbarui: 20 September 2016   09:08 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Koleksi Museum DPR lama (Foto: detik.com)

Dalam museum lama terdapat berbagai koleksi yang dipamerkan, yang disusun secara kronologis. Kisahnya diawali dari Masa Volksraad (1918) yang masih menggunakan Gedung Pancasila di Pejambon.

Urutan selanjutnya adalah Masa Kemerdekaan. Beberapa koleksi utama antara lain naskah proklamasi, rapat BPUPKI yang mengesahkan UUD 1945, dan rapat Chuo Sangi In pada masa pendudukan Jepang.

Koleksi dari Masa KNIP (1950) ikut dipamerkan. Isinya antara lain pelantikan KNIP di Jakarta dan suasana sidang KNIP di Yogyakarta. Koleksi berikutnya dari Masa DPR Orde Lama dan Masa DPR Orde Baru, berupa suasana Pemilu, pakaian anggota MPRS, dan perlengkapan sidang.

Yang belum ada adalah Masa Orde Reformasi mulai 1998. Diharapkan museum baru akan menampilkan koleksi dari masa ini. Yang menarik, sejak dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2003, sejumlah anggota DPR terlibat kasus KKN. Mereka tertangkap tangan oleh tim KPK di berbagai tempat dengan berbagai kasus, yang kebanyakan menyangkut suap untuk memuluskan berbagai proyek.

Kini sebagian dari mereka sudah memiliki putusan hukum tetap. Sebagian lagi masih diproses. Foto, patung, dan kisah tentang mereka pantas mengisi museum baru. Ini sebagai bentuk shock therapy untuk anggota-anggota DPR lain agar tidak memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompok, termasuk partai.

Koleksi lain yang penulis anggap menarik adalah palu yang pernah digunakan oleh Ceu Popon, pimpinan sementara sidang 2014. Palu ini pernah hilang ketika sidang berlangsung.

Profil Setya Novanto juga perlu ditampilkan. Ini baru pertama kali terjadi di Indonesia ketua DPR mengundurkan diri sebelum masa jabatannya berakhir. Setya Novanto dikenal dengan kasus “Papa minta saham” yang menyebut-nyebut nama presiden dan wakil presiden. Setya Novanto pernah tiga kali menolak panggilan Kejaksaan Agung terkait penyelidikan dugaan kasus permufakatan jahat dalam perpanjangan kontrak karya sebuah perusahaan pertambangan.

Bukan hanya itu, profil Irman Gusman perlu menjadi pelengkap. Irman adalah Ketua DPD (Dewan Perwakilan Daerah), lembaga tinggi negara yang dibentuk pada 2004. Sabtu, 17 September 2016, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menangkap tangan Irman karena diduga “menjual” pengaruh dalam mengatur tambahan kuota distribusi gula impor untuk perusahaan bermasalah. Demikian berita Kompas, Senin, 19 September 2016. Mungkin saja DPD perlu mempunyai museum tersendiri atau untuk sementara nebeng pada Museum DPR.

Proyek Hambalang yang terlantar (Foto: kompas.com)
Proyek Hambalang yang terlantar (Foto: kompas.com)
 “Parliament House”

Di luar kontroversi yang sering terjadi kepada DPR, keberadaan Museum DPR versi baru sangat penting dan perlu dikembangkan. Di sejumlah negara, Parliament House selalu menjadi objek wisata nasional dan internasional. Mengunjungi tempat ini sangat menarik karena dikemas secara profesional.

Parliament House dilengkapi perpustakaan, kantin, toko cendera mata, dan sebagainya. Jadi tidak ubahnya museum plus. Sebagaimana Wikipedia,  Parliament House di Singapura menjadi penanda budaya yang dikenal luas oleh publik. Sementara Parliament House di Australia memiliki sejumlah ruangan yang terbuka untuk umum. Kita harapkan Gedung DPR akan memiliki banyak ruangan yang mudah diakses oleh masyarakat untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun