Selasa, 23 Agustus 2016 lalu, Presiden ke-5 RI Megawati membuka pameran kearsipan yang bertema “Indonesian Archives”. Pameran ini berlangsung hingga 31 Agustus 2016 di Lobi Selatan Gedung Sarinah di Jalan M. H. Thamrin, Jakarta Pusat. Menurut Megawati, kita tidak tahu siapa kita tanpa arsip. Selain itu, arsip memiliki potensi luar biasa di antaranya untuk menunjang ilmu pengetahuan. Begitu yang saya kutip dari berita media.
Pameran ini menampilkan arsip foto, dokumen, dan film tentang sejarah Indonesia mengenai kemandirian politik, sosial dan budaya Indonesia pada masa lampau. Dalam pameran ditunjukkan bagaimana arsip-arsip sebagai memori kolektif mampu memberikan gambaran nilai-nilai revolusi mental dan pembangunan suatu infrastruktur untuk kepentingan pembangunan karakter bangsa. Demikian info lain dari media.
Sepengetahuan saya arsip memiliki beberapa jenis. Selain tercetak, seperti surat dan foto, ada juga arsip terekam berupa audio visual. Beberapa arsip tercetak itu, kini dipamerkan di Gedung Sarinah. Ada beberapa foto yang jarang sekali kita lihat tentang Soekarno, misalnya tentang pemberian tanda bebas buta huruf kepada pegawai istana (1951) dan memberi sembah sujud kepada ibundanya dalam kunjungannya di Blitar (1953).
Saya yakin banyak Kompasianer belum tahu foto kabinet pertama RI 1945. Nah foto ini ikut dipajang. Fotonya masih sederhana dengan hitam putih. Seekor anjing tampak dalam foto (lihat foto di atas).
Ketika berkunjung ke Sarinah, 25 Agustus 2016, saya pun sempat mengikuti talkshow "Teh di Negeri Kita", dengan narasumber Ibu Darmiati, Ibu Euis Sariasih, dan Ibu Tissa Pipiltin. Sebelum acara dibagikan buku Khazanah Arsip Perkebunan Teh Priangan terbitan ANRI, 2016.
Pada 1694 F. Valentijn melaporkan bahwa dia melihat tanaman teh Sinensis di rumah Gubernur Jenderal Johannes Camphuys (1684-1691) yang kemudian menjadi rumah Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn (1691-1704) di Batavia.
“Perintisan penanaman teh di Indonesia sebagai perkebunan dimulai sejak awal 1826 dan penanaman secara luas sebagai usaha perkebunan dilakukan sekitar 1830-an. Perluasan tanaman teh oleh rakyat terjadi sebelum Perang Dunia II. Jawa Barat merupakan daerah produksi utama teh, di mana 93 perkebunan dari 121 perkebunan teh yang ada di Indonesia terletak di Jawa Barat,” demikian menurut bagian lain buku tersebut.
Namun ada keterbatasan dalam buku itu. Pembahasan dibatasi pada perkebunan teh yang dibangun selama masa kolonial dan berakhir pada masa diberlakukannya nasionalisasi pada 1958.
Pada bagian akhir dikatakan teh yang diproduksi di Hindia Belanda memiliki kualitas yang baik sehingga dengan cepat jumlah ekspor teh ke negara Belanda pun meningkat. Pada 1900-an teh diekspor ke Australia dalam jumlah besar.
Saat ini teh merupakan salah satu minuman yang digemari oleh semua kalangan. Ada berbagai jenis teh, seperti teh hitam, teh hijau, dan sebagainya. Ada yang teman makan semata, namun ada pula teh yang dikatakan berkhasiat kesehatan. Dalam perkembangannya, muncul teh dalam kemasan yang bisa langsung diminum. Sebagian dikenal sebagai teh celup karena penggunaannya cukup dicelup dalam air hangat atau panas.
Dalam pembicaraan di acara tersebut, terungkap teh yang kita minum sekarang merupakan kualitas kesekian. Soalnya, kualitas nomor satu sudah diekspor ke mancanegara. Semoga saja deh, biarpun kualitas nomor sekian tidak memberikan dampak buruk bagi kesehatan. Nah yang perlu kita lakukan sekarang, bangunan bekas pabrik pengolahan teh harus dilestarikan sebagai cagar budaya. Bisa saja difungsikan sebagai Museum Teh, untuk mengetahui sekaligus mengenang kejayaan kita sebagai pengekspor teh.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H