Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Arkeologi, Antara Dunia Nyata dan Dunia Fiksi

25 Agustus 2016   07:02 Diperbarui: 25 Agustus 2016   13:13 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Temuan meriam kuno di Jakarta (Dok. Djulianto Susantio)

Tanyakan kepada masyarakat awam apa arti kata ‘arkeologi’? Bisa dipastikan akan ada bermacam-macam jawaban dari mereka. Mungkin ada yang mengatakan benda kuno, barang antik, harta karun, fosil, dan dinosaurus. Bisa jadi menyamakannya dengan Candi Borobudur, Kerajaan Majapahit, atau Mahapatih Gajah Mada.

Ditinjau dari katanya, arkeologi berasal dari gabungan archaeos (purbakala) dan logos(ilmu). Jadi singkatnya arkeologi adalah ilmu purbakala. Dari kaca mata ilmiah arkeologi dipandang sebagai ilmu yang mempelajari manusia masa lampau berdasarkan warisan-warisan yang ditinggalkannya. Tujuannya adalah untuk merekonstruksi kehidupan manusia dan budaya manusia yang usianya puluhan tahun hingga mencapai jutaan tahun. Arkeologi selalu menekankan upayanya untuk menggali manusia, bukan menggali benda.

Karena memiliki masa yang tidak terhingga jauh ke belakang, tentu saja warisan-warisan yang masih berada di dalam tanah juga tidak terbilang jumlahnya. Itulah sebabnya banyak kendala dihadapi oleh arkeolog-arkeolog zaman sekarang. Kendala itu berupa tenaga manusia yang terbatas, perlengkapan penelitian yang belum canggih, dana penelitian yang kurang memadai, dan tentunya masih banyak lagi.

Ironisnya, ketika kendala itu masih belum mampu ditanggulangi, berbagai aktivitas yang merusak bahkan menghancurkan sisa-sisa peradaban masa lampau, justru semakin menjadi-jadi. Pencurian arca dari situs arkeologi, penyelundupan artefak ke mancanegara, pembongkaran bangunan bersejarah demi kepentingan ekonomi, dan penghancuran bata-bata berusia ratusan tahun di situs Trowulan, merupakan contoh kecil dari sederetan pelecehan yang kerap dialami dunia arkeologi sejak lama.

Tidak dimungkiri, ilmu arkeologi masih kurang dihargai. Sebaliknya, benda-benda arkeologi justru semakin diperebutkan dengan segala cara karena memiliki nilai komersial tinggi. Sebelum tumbuhnya arkeologi sebagai ilmu pada abad ke-19, arkeologi memang bermula dari kegemaran mengumpulkan barang antik (antiquarian).   

Arkeologi, bukan saja harus menghadapi masyarakat awam yang kurang memedulikan warisan masa lalu, tetapi juga harus berhadapan dengan pemerintah yang kurang tegas menindaklanjuti aturan hukum. Terbukti sejak bertahun-tahun lalu bangunan-bangunan lama, terutama peninggalan zaman penjajahan, dihancurkan dengan dalih ‘demi pembangunan’.

Banyak bangunan kuno di kota-kota besar tersingkir tanpa bisa dicegah, untuk digantikan bangunan modern yang katanya ‘lebih bermanfaat ekonomis’.  Begitu pula ketika Undang-undang Benda Cagar Budaya (UUBCB) diberlakukan sejak 1992. Tetap saja bangunan bersejarah dihancurkan tanpa dapat dicegah. Mudah-mudahan revisi UUBCB 2010 ini menjadi awal kebangkitan dari para penegak hukum.

Menarik

Jelas sekali, di dunia nyata perhatian kepada masa lampau belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Padahal kalau kita lihat dunia fiksi, betapa dahsyatnya arkeologi, sehingga mampu menyedot kekaguman masyarakat. Mungkin kita masih ingat buku-buku fiksi ilmiah karangan Erich von Daniken. Situs-situs purba di Amerika Latin dikatakan tempat pendaratan pesawat UFO.

Artefak-artefak kunonya disebut-sebut bikinan makhluk angkasa luar. Masih banyak lagi hal yang dikarang-karang oleh Daniken. Meskipun tulisan Daniken dianggap “ngaco” atau pseudo-archaeology (arkeologi semu) oleh banyak arkeolog, namun beberapa seri bukunya telah menjadi best seller di banyak negara, termasuk terjemahannya dalam bahasa Indonesia.

Kedahsyatan juga diperlihatkan film-film yang berlatar arkeologi, selalu menjadi box office di seantero dunia berkat tangan-tangan kreatif Hollywood. Aktris jelita Angelina Jolie, misalnya, banyak dipuja karena aktingnya dalam film tentang perburuan harta karun yang menegangkan dengan setting situs Angkor Wat di Kamboja.

 Begitu pula karya sutradara film beken Steven Spielberg, Jurassic Park, yang dianggap sebagai karya imajinasi kreatif di luar batas nalar. Telur dinosaurus yang sudah berusia berjuta tahun berhasil ditetaskan dengan teknik rekayasa genetika. Sesuatu yang mustahil terjadi, namun mengundang decak kagum penonton awam. Belum lagi kisah seorang arkeolog konyol dalam film Indiana Jones. Serial kisah itu sangat disukai di banyak negara.

Temuan meriam kuno di Jakarta (Dok. Djulianto Susantio)
Temuan meriam kuno di Jakarta (Dok. Djulianto Susantio)
Sangat menarik pengakuan pengarang cerita terkenal sejagad, Agatha Christie. Dia selalu memecahkan serangkaian teka-teki rumit dalam novel detektifnya dengan berbagai metode arkeologi. Jelas-jelas dia mengatakan banyak terinspirasi oleh suaminya yang berprofesi sebagai arkeolog.

Memang karya-karya tersebut cukup menaikkan derajat dunia arkeologi kepada masyarakat.  Sayang dalam keadaan sesungguhnya, arkeologi bukanlah hal yang populer. Ilmunya sering kali dijauhi, baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah. Ini terlihat dari anggaran tahunan yang diterima jauh dari mencukupi.

Justru benda-benda arkeologi yang gencar diburu karena memiliki nilai komersial atau investasi tinggi. Apalagi kolektor barang antik semakin tumbuh subur, seiring semakin tingginya status sosial mereka. Banyaknya pemalsuan arca di Museum Radya Pustaka beberapa waktu lalu, jelas menunjukkan bahwa nilai benda-benda kuno amat fantastis. Semakin banyaknya barang yang ditawarkan balai-balai lelang internasional, memberi gambaran bahwa bisnis benda-benda kuno selalu menggeliat.

Tergusur

Tergusurnya situs-situs arkeologi merupakan konsekuensi logis dari pertumbuhan ekonomi dan penguasaan kapital oleh segelintir orang yang didukung oleh aparat-aparat di birokrasi pemerintahan. Maka perjuangan arkeologi sering kali berbenturan dengan penguasa, pengusaha, atau kepentingan kelompok tertentu di tengah derasnya laju pembangunan fisik. Contohnya seperti yang diungkapkan tadi, banyak pihak dengan ‘leluasa’ berhasil merobohkan bangunan-bangunan kuno dan merusakkan situs-situs arkeologi tanpa merasa bersalah.

Jumlah tinggalan arkeologi semakin meningkat setiap tahunnya karena selalu saja ada penemuan baru, baik penemuan yang disengaja maupun penemuan tidak disengaja. Untuk itu tentu saja perlu partisipasi banyak pihak dalam menghadapi perubahan zaman yang semakin cepat.  

Banyaknya LSM atau organisasi nirlaba yang mengusung nama warisan budaya masa lampau, seperti Badan Pelestari atau Indonesian Heritage,sebenarnya menunjukkan bahwa masih ada segelintir orang yang mau peduli pada masa lalunya. Kita harapkan kehadiran organisasi nirlaba demikian bukanlah pekerjaan yang sia-sia. Banyak visi dan misi yang mereka sampaikan mudah-mudahan bisa memberikan sumbangsih kepada negara dan bangsa.

Negeri kita banyak mewarisi situs dan artefak purbakala dari berbagai daerah dan masa dengan cirinya masing-masing. Ditambah kandungan di dalam tanah yang belum terjamah oleh ekskavasi arkeologi. Semuanya merupakan aset yang sangat berharga yang tidak mungkin dikonversikan dengan uang. Siapa lagi yang akan memberdayakannya selain kita sebagai generasi muda, generasi penerus bangsa?

Seyogyanya kita belajar dari bangsa lain, seperti Prancis, yang dikenal sebagai bangsa yang mengagung-agungkan masa lampaunya. Sejak lama anggaran penelitian arkeologi di Prancis, setara besarnya dengan anggaran bidang-bidang lainnya. Anggaran terbesar dipakai untuk mengorek sejarah nenek moyang mereka, apakah benar manusia purba Cro-magnon ataukah bukan. Bahkan apakah ada hubungannya dengan Pithecanthropus asal Indonesia.

Penelitian arkeologi yang mereka lakukan bukan hanya berlangsung di negaranya sendiri, tetapi sudah meluas ke Timur Jauh lewat sebuah lembaga penelitian EFEO (Lembaga Penelitian Prancis untuk Timur Jauh). Sampai-sampai penelitian arkeologi di Indonesia pun dibiayai lembaga tersebut.   

Kita selalu tertinggal dan reaktif, bukannya antisipatif. Tidak pernah belajar dari “kebodohan” kita sendiri. Justru selalu berpandangan berbagai kasus negatif itu sebagai “pelajaran berharga” yang tidak boleh terulang kembali.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun