Demokrasi sejatinya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Salah satu bentuk konkret pengejawantahan demokrasi di negeri ini adalah pemilihan umum langsung untuk memilih pemimpin, baik untuk level nasional maupun untuk level lokal [daerah]. Dalam hal ini, rakyat memilih orang-orang yang mereka percayai untuk menjadi pemimpin mereka. Adalah tugas para pemimpin terpilih untuk kemudian menyuarakan, memikirkan, dan memperjuangkan nasib dan kepentingan rakyat.
Dengan demikian, hasil akhir dari setiap pemilihan umum yang paling ideal adalah berubahnya kehidupan rakyat. Kenapa? Karena, bagaimanapun, rakyat memilih pemimpin mereka dengan harapan mereka bisa mengubah kehidupan mereka ke arah yang lebih baik berupa meningkatnya kemakmuran dan kesejahteraan.
Indonesia sendiri saat ini menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia di belakang India dan Amerika Serikat. Ditilik dari perjalanan sejarah bangsa, secara garis besar praktik demokrasi di Indonesia paling tidak terbagi ke dalam empat periode.
Pertama, periode demokrasi parlementer [1945-1959]. Periode ini ditandai dengan begitu kuatnya dominasi partai-partai politik dan Dewan Perwakilan Rakyat. Pada masa ini, kabinet tidak bisa bekerja secara efektif akibat kerap ditentang oleh parlemen.Â
Kedua, demokrasi terpimpin [1959-1965]. Periode demokrasi terpimpin ditandai oleh keluarnya apa yang diistilahkan sebagai Dekrit Presiden. Isinya yaitu [1] tidak berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950; [2] berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945; [3] dibubarkannya Konstituante dan [4] pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara.
Ketiga, masa demokrasi Pancasila [1966-1998]. Masa ini sering dijuluki pula sebagai masa Orde Baru [Orba], yang merupakan masa demokrasi konstitusional dimana sistem presidensial demikian menonjol. Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan sangat kuat kedudukannya pada periode ini.
Keempat, periode demokrasi paska reformasi [1998-sekarang]. Masa keemasan demokrasi Pancasila berakhir ketika roda reformasi bergulir tahun 1998. Sejak itu, demokrasi di negeri ini bersandar pada sistem multipartai yang berupaya mewujudkan perimbangan kekuatan antara lembaga negara, pihak eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Demokrasi yang kita jalankan saat initentu saja demokrasi yang berbasis norma-norma konstitusi yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, norma hukum konstitusi menjadi sandaran utama demokrasi di Tanah Air. Untuk menjaga agar demokrasi yang kita jalankan sesuai dengan norma-norma konstitusi, maka kita membutuhkan lembaga penjaga konstitusi. Pada konteks inilah keberadaan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia [MKRI] menemui signifikansinya.
Mengutip laman mkri.id, sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi diawali dengan diadopsinya ide peradilan konstitusional [constitutional court] dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat [MPR] pada tahun 2001, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat [2], Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001.Â
Lantas, setelah disahkannya Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan Mahkamah Konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Mahkamah Agung [MA] menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Keempat.
Adapun Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi.Â
Barulah Setelah melalui pembahasan mendalam, Dewan Perwakilan Rakyat  dan Pemerintah menyetujui secara bersama Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316.
Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 melantik hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim Mahkamah Konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003.Â
Langkah berikutnya yaitu pelimpahan perkara dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, pada tanggal 15 Oktober 2003, yang menandai mulai beroperasinya kegiatan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Undang-Undang Dasar 1945.
Sejauh ini, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Keempat kewenangan itu adalah sebagai berikut.
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar.
3. Memutus pembubaran partai politik.
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Adapun kewajiban yang disandang Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yakni memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.Â
Pelanggaran dimaksud sebagaimana disebutkan dan diatur dalam ketentuan Pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945 yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Seperti halnya lembaga peradilan lainnya, hakim menjadi garda terdepan dalam menjaga integritas dan kemandirian Mahkamah Konstitusi. Sebagai benteng penjaga keadilan hukum bagi tegaknya konstitusi dan demokrasi di Tanah Air, Mahkamah Konstitusi mutlak harus  dapat menjaga integritas dan kemandiriannya. Oleh sebab itu, para hakim Mahkamah Konstitusi haruslah pula insan-insan yang berintegritas dan mandiri.Â
Untuk menjamin kedua hal tersebut, terdapat sejumlah aspek yang mesti selalu menjadi fokus perhatian dalam tata kelola Mahkamah Konstitusi.Â
Salah satunya yaitu perekrutan dan pengangkatan hakim Mahkamah Konstitusi. Sistem perekrutan dan pengangkatan hakim Mahkamah Konstitusi harus senantiasa berbasis pada sistem merit alias berdasar pada kemampuan, prestasi dan kinerja. Perekrutan dan pengangkatan aparatur hakim Mahkamah Konstitusi yang tidak berdasar pada kemampuan, prestasi dan kinerja bakal sangat rentan menelurkan hakim-hakim yang minim integritas, tidak mandiri, dan korup.
Selain itu, penggajian yang layak serta kondisi kerja yang menunjang sehingga meminimalisir terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme .
Yang tak kalah pentingnya yaitu transparansi. Transparansi dibutuhkan agar media serta publik luas dapat memantau aktivitas proses peradilan dan  penegakan hukum di Mahkamah Konstitusi, sehingga dapat ikut mencegah terjadinya tindak korupsi peradilan.
Di usianya yang keduapuluh, sudah barang tentu kita sangat berharap Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia semakin mampu menjadi penjaga konstitusi dan demokrasi kita berkat adanya sosok hakim-hakim yang bersih, berintegritas, dan mandiri dalam sebuah sistem hukum yang senantiasa menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.[]
--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H