Kapten Morgel memindah pusat kegiatan VOC di Hindia Belanda ke benteng Batavia. Dari sini, secara bertahap VOC menguasai dan menaklukan raja-raja di Nusantara. Kesultanan Banten, Mataram, termasuk Carbon.
Pandangan Carbon
Dongeng Kapten Morgel diduga merupakan pendapat penulis naskah Mertasinga terhadap kekuasaan Belanda (VOC) di Nusantara. Penulis naskah Mertasinga sepertinya menyalahkan Kesultanan Banten. Karena tindakan pasukan Banten yang melindungi benteng Batavia itu yang menjadi cikal bakal berkuasanya Belanda (VOC) di Nusantara.
Alasan tudingan ini adalah karma pendiri Kesultanan Banten, Syeh Maulana yang merebut tahta Banten dari Pucuk Umum. Seperti diceritakan dalam Pupuh XVII.10-XVII.24, Syeh Maulana yang bergelar Prabu Gelereng Erang, Arya Lumajang dan Raja Lahut (Penguasa Jayakarta/Pangeran Jayakarta) mendatangi Pasowan Jaba tempat tinggal Pucuk Umum.
Ketika Pucuk Umum akan kabur, tiba-tiba saja sudah dijepit jempol Syeh Maulana. Akhirnya Pucuk Umum menyerah, lalu masuk Islam. Begitu juga dengan bala tentaranya. Maka berakhirlah ajaran Buddha di tanah Pajajaran.
Tapi adiknya Pucuk Umum, Dewi Mandapa dapat meloloskan diri. Dendam kesumat menggelorakan dalam dirinya. Syeh Maulana, Arya Lumajang dan Raja Lahut dan keturunannya harus mendapat ganjaran yang sama. Dijajah.
Dendam ini membawa Dewi Mandapa tiba di Gunung Padang, tempat tinggal Ki Ajar Sukarsa. Oleh Ki Ajar, Dewi Mandapa disuruh bertapa di pohon Pinang yang dijalari pohon Sirih. Tapa hingga ada daun Sirih kering yang jatuh ke pusarnya.
"Makanlah daun itu. Ananda akan hamil dan melahirkan bayi. Berilah nama Dewi Tanuran Gagang. Ia akan tumbuh jadi putri yang cantik jelita. Tapi tak seorang pun bisa menyetubuhinya. Karena saat akan disetubuhi, parjinya akan mengeluarkan hawa panas yang berkobar-kobar. Kecuali seorang Belanda. Inilah jalan Belanda memerintah dan menguasai raja-raja Jawa," ujar Ki Ajar (Pupuh XVIII.02-XVIII.07).
Ki Ajar Sukarsa menjodohkan Dewi Tanuran Gagang dengan Pangeran Tlutur, anak Raja Lahut. Sayangnya hubungan suami-istri Tlutur dan Dewi Tanuran terganggu. Seperti ucapan Ki Ajar, Dewi Tanuran tidak bisa disetubuhi. Dewi Tanuran mengikuti Pangeran Tlutur ke Carbon, Tlutur pun merelakan Dewi Tanuran disunting Pangeran Carbon, cucu Sinuhun.
Hal yang sama pun mengganggu hubungan suami-istri Pangeran Carbon dan Dewi Tanuran. Sewaktu seba ke Mataram, Dewi Tanuran ditukar dengan Ratu Sidapulin. Dari Ratu Sidapulin ini, Pangeran Carbon beranak Pangeran Manis dan Ratu Setu.
Tidak bisa disetubuhinya Dewi Tanuran sungguh mengganggu Sunan Mataram. Niatnya Dewi Tanuran akan dibunuh. Atas saran Sunan Kalijaga, Dewi Tanuran dijual ke pedagang Belanda. Dewi Tanuran ditukar dengan 3 buah meriam; Ki Sapujagat yang disimpan di Mataram, Ki Antu di Carbon dan Ki Amuk di Betawi.