Mohon tunggu...
djeng sri
djeng sri Mohon Tunggu... Foto/Videografer - penuliscerita dan freelancer menulis

suka fotografi dan fiksi ;)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Lui, Lew i, Loe i

9 April 2016   11:32 Diperbarui: 9 April 2016   11:47 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="copyright by bowobagus'p"][/caption]judul: Cerpen | Lui, Lew i, Loe i.

“Nggak! Gak mau pak! Ihhhh”

“Lui!”

Bentakan keras pak Min memampatkan suara dan rontaan Lui. Badanya kini melemah, seperti layaknya kapas. Wajah yang manis memucat dan hanya menyisakan butiran-butiran air mata yang menetes dengan deras.

“Ahh,” aku gelisah, mengacak-acak rambut lalu mencoba menyulut sebatang rokok, sebelum akhirnya membuangnya dengan penuh kata-kata makian,

“Tembakau sialan! Aku tak mau lagi menghisapmu!”

Kejadian itu berlangsung kurang lebih satu tahun yang lalu, dan seperti sebuah picu yang terus menyalak setiap kali ada hari yang tepat untuk menarik dan meledakkannya. Catatan harian kumalku menyiratkan bahwa kejadian pertama berawal ketika Lui mendapatkan teman kelas baru.

“Hai selamat pagi teman-teman, namaku Hari, saya dari Jakarta,” Hari, si teman baru memperkenalkan diri di depan kelas. Lui pun menyambut baik Hari, seperti teman-temannya yang lain. Dan ketika bel pulang berdentang, saat ayah Hari datang menjemputnya, terjadilah peristiwa itu

“Hai, anak manis, aku ayahnya Hari”

“Ahhhhhh... takuttttt takutttttt takuttttt”

Lui berlari ke pojok ruang kelas, menyembunyikan dirinya di balik meja sambil berteriak terus menerus tanpa henti, hingga akhirnya aku, guru wali kelas, datang menenangkannya.

***

Lembar kesembilanbelas catatan kumalku memperlihatkan garis merah, Lui mengakui melihat sesosok bayangan setan mengerikan di belakang ayah Hari. Aku tercenung,

“Ada apakah ini? Kesurupan? Penyakit mental?”

“Ah tak mungkin!”

“Nonsens!”

Wushhhhhh.... Angin besar mendadak masuk melalui jendela kamar kontrakanku. Lembar-lembar catatanku terbolak-balik dengan keras, lalu berhenti pada halaman tigapuluhenam, sebuah daftar kejadian-kejadian susulan yang melanda Lui,

“Melihat badut dibelakang pak bupati, melihat tikus raksasa ketika pak Abram calon anggota legislatif kampung kami lewat, mengakui suka melihat seorang nenek penjual sate di pinggir sekolah yang katanya didampingi duabelas burung merpati, dan.. banyak lagi yang sangat membuatku bingung! Sebab tak ada seorang pun yang melihat semua hal aneh tersebut, tak terkecuali aku!

***

Pembatas buku catatanku terjepit di halaman tujuhpuluh enam, sebuah catatan tambahan, bahwa Lui tiba-tiba melihat bayangan manusia raksasa dengan cakar yang tajam saat kakak kelasnya (kelas 6) bernama Rio lewat, aku mendengus lemah, kepala berdenyut-denyut pening tiada terkira.

“Koran-koran!”

“Koran pak guru? Buat pak guru gratis deh, ini pak, monggo”

“Eh pak Jo, kok gratis? Ngawur saja kau itu, ini, kembaliannya buat pak Jo saja”

“Ah bapak kan pak gurunya Ika, anak saya he.. he.. he..”

“Ya sudah, anggap saja uang itu buat jajan sama beli buku Ika ya pak Jo?”

“Siap pak guru, makasih, permisi pak guruuu”

“Oke ati-ati pak Jo!”

Kepala terasa agak ringan, sesaat setelah berbincang dengan pak Jo, salah satu orang tua muridku. Sambil menyeruput kopi pahit panas, kubuka lembar depan koran sore itu,

“Hah?”

“Astaga?”

“Tak mungkin!”

Kakiku melangkah cepat mengambil buku catatan kumalku, lalu mencocokkan kejadian yang aku catat, dengan Headline harian sore tersebut,

“Pak bupati beralih profesi menjadi badut Senayan setelah kalah pemilu kedua, pak Abram calon anggota legislatif kampung kami tertangkap sedang “main proyek” dengan anggota dewan yang terhormat...”

“Tertangkap! Seorang anak SD bertubuh bongsor yang jadi tersangka pemerkosaan...”

“Hah?”

“Astaga?”

“Tak mungkin!”

“Lui!”

“Lui!”

“Lui!”

“Lui!”

.

.

.

J0674, 09 April 2016

aku benci sinetron!

#djengsri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun