Mohon tunggu...
djeng sri
djeng sri Mohon Tunggu... Foto/Videografer - penuliscerita dan freelancer menulis

suka fotografi dan fiksi ;)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[HUT RTC] Hei! Mau Kemana?

22 Maret 2016   23:09 Diperbarui: 22 Maret 2016   23:32 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="copyright by bowobagus'p"][/caption]Minggu keempat, terinspirasi film...

oh bila telah tiba saatku nanti,

lihatlah ke arah timur laut waktu pagi-pagi sekali..

aku kan ada di cakarawala,

berdiri dan menyambut senyummu dengan bangga;

enyahkan saja keinginan untuk bermuram durja

sebab bila sudah tiba saatnya, siapa yang mampu menolaknya?

.

perjalanan ini indah,

sama dengan perhentian ini..

bila aku mempunyai salah,

mohon sudilah mengampuni....

Sore yang redup, mendung terlihat menggantung di ujung-ujung langit. Beberapa burung terbang mengelilingi sebuah pekarangan. Sedang beberapa ratus orang sedang sibuk berkerumun (ada yang berdiri ada yang duduk), angin datang menghanyutkan lelaguan indah pujian kepada sang Esa.

Di pojok sebuah rumah tampak beberapa lelaki menghembuskan asap rokok mereka. Seakan sebuah pelepasan dari rasa resah dan gelisah, gembira atau dilema yang resah. Kulangkahkan kaki yang mulai lemah 'tuk hampiri mereka, lalu berhenti dan menyatukan diri.

“Sugeng pakdhe,” sapaku [ *sugeng, ungkapan dalam bahasa Jawa Tengah = panjang umur ]

“Iyo le, ayo sini, jangan berdiri di tempat yang panas, sini berteduh disini. Dah dapat permen belum?” jawab pakdhe Bina

“Makasih pakdhe,” ucapku kemudian sambil mengulurkan tangan menerima sebuah permen

Seorang pejabat desa mulai melagukan cerita, kisah tentang seorang yang sangat berarti di desa ini. Betapa jasa dan kebaikannya diuraikan satu persatu sehingga menambah pilu anggota keluarga dan sanak saudara. Sementara itu di kejauhan aku lihat mendung mulai bergerak agak menjauh, setitik terang datang menembus awan dan menyorot kami.

“Kamu ndak ikut brobosan le?” tanya pakdhe tiba-tiba [ *bobosan, adat di Jawa Tengah = berjalan menerobos di bawah peti jenasah, peti diusung oleh 4 orang dan dipanggul tinggi-tinggi ]

“Ah pakdhe ki, saya khan bukan sanak family..,” balasku sambil menyikutnya pelan

Dasar! Pakdhe yang satu ini memang suka meledek aku. Mentang-mentang dulu aku pernah dijodohkan sama anaknya orang itu, hadeh...

“He.. he.. he..,” tekekeh pelan pakdhe menerima sikutan ku

“Eh itu sudah mo diberangkatkan, kamu mo ikut nggak?” tanya pakdhe kemudian

“Iya pakde, monggo...,” jawabku sambil mulai maju mengikuti rombongan sanak famili menuju ke taman pemakaman desa.

Hem.. sang Khaliq sedang menjemput hambanya, lihat langit dibuatnya mendung namun tidak hujan, burung-burung terbang seakan memberi penghormatan, dan beratus-ratus dari kami mengantarkannya dengan damai..

oh bila telah tiba saatku nanti,

lihatlah ke arah timur laut waktu pagi-pagi sekali..

aku kan ada di cakarawala,

berdiri dan menyambut senyummu dengan bangga;

enyahkan saja keinginan untuk bermuram durja

sebab bila sudah tiba saatnya, siapa yang mampu menolaknya?

.

perjalanan ini indah,

sama dengan perhentian ini..

bila aku mempunyai salah,

mohon sudilah mengampuni...

.

.

 terinspirasi dari film: City of Angels

________________

22 Maret 2016,

ds

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun