***
Wussss.... Angin malam bertiup kencang menggoncang-goncangkan tirai warung kopi. Perbincangan kami terhenti sejenak. Dua bola matanya tampak menatap jauh lurus ke depan. Ada sebuah kekosongan yang tergambar di dalamnya. Tenggorokannku mendadak seperti tercekat, tak mampu keluarkan lagi kata-kata.
“Hakku? Hakmu?” dua kata sakti bergulir dalam lirih gumamku. Sembilan belas persen kesadaran hilang, hanyut bersama laju angin malam yang bertiup cukup kencang. Tak terasa sudah hampir pukul sebelas! Betapa lamanya kami berbincang tanpa kehangatan.
***
Teringat kebiasaan burukku yang tak jua hilang, bermain handphone di depannya. Meski ia sedang aktif mengajakku bicara. Mungkin karena jengah, ia lalu minta diri. Namun tanpa ekspresi dan masih terus memainkan gadget itu, aku menahannya,
“Sebentar lagi saja, jangan sekarang...”
Dan aku melakukannya lagi, memainkan handphone sambil menanggapi omongannya. Persis seperti tirai warung kopi yang ditiup angin! Meski bergoyang namun tak pernah berubah, tak pernah jatuh. Aku merasa...
“Inilah aku, aku selalu katakan yang sejujurnya, tak pernah mengada-ada. Bila aku bilang sibuk, memang aku sedang sibuk, bila aku bilang tak bisa, ya berarti memang aku tak bisa!”
“HEI!”
Aku tersentak dari lamunan. Ternyata tanpa sengaja aku meneriakkan kalimat terakhir dalam lamunan panjang tadi, sehingga ia menghardikku dengan keras.
“Ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba berteriak seperti kesetanan?”