.
“Kamu ni loh kang, gitu aja mlintir...”
Shhhh.... Kuhisap sebatang lagi dari berbatang-batang yang tersedia di atas laci. Entah kecanduan atau hanya pelampiasan, namun yang pasti bukan karena gratisan! Mlintir, mlintir ndasmu kui! Umpatku dalam hati sambil menatap lekat wajah kawanku yang katanya sohibku, keluargaku, adik? Kakak? Om? Tanpa ekspresi, lalu kembali menatap kejauhan yang beraroma air, sebentar lagi hujan.
“Bukan begitu kang, jalan kan masih banyak, lagipula aku ni kan sudah seperti sodara bagi kau, keluarga gitu lah, aku tau bener perasaan kau kang”
Ia berkoar lagi, panjang lebar seperti politisi kampung yang berkampanye di pertemuan bapak-bapak RT. Rokokku berpaling, mengerling seakan sepakat dengan monyong mulutku yang hendak bergumam,
“Ah, itu kan karena blum ada yang melemparimu dengan seonggok uang bro!”
“Kamu ni loh kang, sudah lah, yuk kita nyari gambar lagi!”
“Gak usah dipikir tho, kita kan sama-sama bermain peralatan jadul?”
.
Shhhh.... Kuhisap sebatang lagi, sebab tinggal sebatang, lalu kusemburkan di mukanya yang manyun dan sudrun! Sayang sungguh sayang, ia yang seakan-akan berbicara padaku ini hanya sebuah bayang dari potretur kawan yang kini sedang berkawin dengan kewan, kewan (hewan: bahasa Jawa). Lagak lagunya seperti seorang Kapiten yang selalu berucap,
“Bukan begitu kang, jalan kan masih banyak, lagipula aku ni kan sudah seperti sodara bagi kau, keluarga gitu lah, aku tau bener perasaan kau kang”