Mohon tunggu...
djeng sri
djeng sri Mohon Tunggu... Foto/Videografer - penuliscerita dan freelancer menulis

suka fotografi dan fiksi ;)

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Seikat Kopi Setangkup Hati

16 Oktober 2015   17:07 Diperbarui: 16 Oktober 2015   17:26 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="copyright by bowobagus'p"][/caption]

judul: Seikat kopi setangkup hati

 

 

Mbak, mbak, mana kopinya?” setengah hati aku memanggil pramusaji. Sore hari serasa malam, malam hari serasa sore, detak jam di atas kepala makin lama semakin menjitak kesabaran. Brakkk! Tangan kiri beraksi, sebatang rokok terlempar ke atas lantai pvc parquet,

Ma maaf mbak, sebentar ya, maaf, maaf,” satu orang pramusaji menghampiri meja nomer lima belas, sebuah gelas berisi permintaan maaf seakan-akan mematung dengan pias.

Sepelengosan pandangan, aku melihat si pembuat kopi sedang berkutat dengan segelas kopi panas. Diaduk, ditambah, dikurangi, dilihat, dan masih banyak hal lagi yang akhirnya hanya sia-sia, masuk ke ember pembuangan. Tangannya menyeka keringat yang mulai mengucur seiring dengus ketidaksabaranku, yang mungkin terdengar oleh dua telinganya yang berbentuk caplang!

Ha ha ha,” aku tertawa diam-diam, dalam hati. Kuping caplang, kuping caplang, oh Pleki! Aku teringat padanya, si anjing kecil lucu yang selalu setia menemaniku, melayaniku, tanpa peduli pada kepuasan atas hasil pelayanannya, “Eh, aduh melantur ke kuliah manajemen marketing, ha ha ha!”

Kenapa mbak? Kenapa musti mencari-cari yang terbaik sampai stres setengah mati hanya untuk secangkir kopi?” aku bertanya pada nya yang sedang dag dig dug di pojok kedai kopi kesukaanku sejak dua tahun yang lalu, namun ia hanya diam sambil mengelap deras keringat cemasnya yang bercucuran! “Oh ternyata aku hanya bertanya dalam hati, tak sampai keluar jadi sebuah ungkapan perkataan!”

Jadi kenapa?Maksudku mengapa? Tidakkah semua itu hanya akan berpulang pada ee maaf, kotoran (kencing) atau tinja (tai)?” si mbak pramusaji tidak berani menjawabku pun melihat mukaku yang memerah bak batu bara menyala, aku tersadar lagi: hanya bertanya dalam hati.

Ohh..”

Srek srek srek temanku, si pemilik kedai datang sambil membawa Seikat kopi setangkup hati, dan terbata-bata berkata,

Maaf mbak Jane, maafkan saya, pegawai saya, dia hanya ingin membuat kopi yang paling spesial, namun, namun, sayangnya dia selalu merasa tidak pernah menemukan Taste yang terbaik yang pantas buat mbak... maaf ya mbak...”

Aduh mas, kayak sama siapa saja tho? Ini loh Jane, bukan siapa-siapa, cuma teman yang setia saja,” balasku menenangkan kegugupannya.

Jadi... mbak mau memaafkan kami?”

Bukan itu konteksnya mas..”

Jadi... mbak belum mau memaafkan kami?”

Bukan itu konteksnya mas..”

Kalau mau tau apa yang terbaik buat aku.. kenapa nggak tanya langsung saja padaku?”

.

.

Seikat kopi setangkup hati,

terbata-bata aku mengejanya

sejak pagi hingga malam tiba

tiada mampu kudapatkannya

.

oh sang raja alam semesta,

inikah dunia hamba?

.

.

Jogja, 16 Oktober 2015

Djeng Sri

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun