Tang tang tang…
Sesungguhnya aku tak tahan, namun inilah tugasku. Sejak peneng simbol keadilan melekat di pinggangku, tak ada kengerian yang lewat jauh dari kanan-kiriku. Dan kali ini, kekejaman itu kembali terulang lewat bacot preman tua bernama Parna! Luar biasa!
“Dik, bagaimana bila aku pergi saja?”
“Maksud mas… resign gitu?”
“Hemhh…,” adikku mendengus keras lalu berlalu menuju perapian yang hampir padam. Mulutnya me-monyong panjang meniupkan udara ke dalam semprong yang kemudian keluar dengan keras ke dalam keren.
“Sudahlah mas…” lanjutnya
***
“Kau itu Sri, jeritanmu sangat merdu, apalagi ketika suara itu mencapai desibel tujuh, oh, aku seperti terdampar di ranjang sang raja,”
“Ha ha ha…”