Oleh : Djasli Djosan
Wartawan RRI -- 1979-2001
Tanggal 5 Oktober 2022 Tentara Nasional Indonesia --TNI berusia 77 tahun. Usia yang sudah sepuh menurut ukuran manusia. Kalau manusia dari segi ketahanan pisik sudah loyo. Sebaliknya TNI semakin kuat dan tangguh. Alutsista yang dimiliki TNI dewasa ini jauh lebih banyak dan canggih dibandingkan dengan masa lalu. Walaupun, masih saja belum cukup dibandingkan keperluan melindungi seluruh wilayah Nusantara yang luasnya setara daratan Eropa.
Tentara Rakyat
TNI mula-mula bernama Badan Keamanan Rakyat --BKR- kemudian pada 5 Oktober 1945 menjadi Tentara Keamanan Rakyat --TKR-. Pernah setelah itu bernama Tentara Republik Indonesia --TRI- dan akhirnya pada 3 Juni 1947 diresmikan Presiden Sukarno menjadi Tentara Nasional Indonesia --TNI- . Dinamika perjuangan waktu itu, sebagai hasil KMB di Negeri Belanda pada 1949 dibentuk Republik Indonesia Serikat --RIS- dan TNI menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat --APRIS -- yang anggota-anggotanya gabungan TNI dengan KNIL (Tentara Belanda). Â
Agustus 1950 RIS kembali menjadi NKRI kekuatan bersenjatanyapun berubah dari APRIS menjadi APRI dengan anggota-anggota yang seluruhnya dari TNI. Sehubungan hal tersebut, sampai kapanpun TNI tetap mengabdi untuk kepentingan rakyat. TNI harus selalu melindungi rakyat khususnya terhadap ancaman yang datang dari luar.Â
Upaya selalu melindungi rakyat itu dapat juga dikatakan sebagai rasa terima kasih karena dalam perang kemerdekaan tahun 1945-1949 rakyat selalu membantu TNI seperti menyediakan pemondokan yang aman dari kejaran NICA (tentara Belanda).
Untuk menanamkan jiwa kerakyatan itu, dizaman Orba ada kegiatan diberi nama "ABRI Masuk Desa' yaitu membantu rakyat membangun infra struktur yang belum terjangkau oleh biaya APBN. Dalam program tersebut TNI dan rakyat saling bahu membahu, bergotong royong membangun desa seperti memperbaiki jalan atau jembatan yang rusak.
Keberadaan TNI yang lahir di tengah-tengah rakyat itu menempatkan TNI sejajar dengan rakyat, bukan di atasnya. Memang ada juga kalangan TNI yang merasa lebih tinggi kedudukannya daripada rakyat, sehingga cenderung melecehkan rakyat. Beberapa peristiwa berikut ini menunjukkan hal tersebut.
Tahun 1964, dalam sebuah gerbong kereta api Tanjung Karang -- Palembang, seorang Bintara TNI menarik tangan seorang penumpang dengan kasar, menyuruhnya pindah karena  merasa lebih berhak duduk di tempat itu. Padahal, penumpang yang bersangkutan punya karcis yang syah yang dibelinya di loket.
Dalam tahun 80an sebuah mobil sipil melintas di depan sebuah perumahan TNI di Kebun Jeruk , Jakarta. Tiba-tiba dikejar sebuah jip TNI Â menyuruhnya berhenti.
"Saya salah apa Pak?" Tanya sopir mobil sipil.
"Apa kamu tidak lihat saya sudah dekat mau ke luar perumahan TNI. Mengapa kamu tancap gas?"
"Maaf Pak. Saya tidak bermaksud mendahului Bapak, karena saya berada di jalan yang lurus berhak jalan terus. Apalagi Bapak saya lihat masih jauh..."
"Ah, alasan kamu. Mau menyenggol mobil atau orangnya?" Suara sopir jip TNI meninggi. Sopir mobil sipil ketakutan dan berulang-ulang minta maaf. Seorang penumpang mobil sipil itu, datang menengahi.
"Maaf Pak. Saya bekerja di Kantor Pusroh Islam Angkatan Darat. Saya tidak lihat begaimana persisnya mobil yang saya tumpangi ini melintas di depan perumahan TNI, tadi. Maafkanlah jika sopir mobil ini salah..." Kemarahan sopir jip TNI mereda dan melanjutkan perjalanan. Mungkin ia merasa segan karena ada penumpang yang berkerja di kantor TNI, yaitu Pusroh Islam Angkatan Darat
Bukan rahasia lagi, banyak anggota TNI yang tidak bayar naik bus dan kereta api di DKI Jakarta dan sekitarnya. Kondektur tidak mau menagih karena takur dimarahi. Itu terjadi sampai akhir tahun 90an.
Tingkah laku kalangan TNI yang merasa dirinya lebih tinggi dari rakyat banyak terjadi di seluruh Indonesia. Perlu ada penelitian, apa sikap seperti itu masih ada diabad ke 21 ini. Kalau masih ada tentu akan merusakkan nama baik TNI sebagai pembela rakyat.
Prestasi TNI
Prestasi TNI sangat mengagumkan diawal kemerdekaan RI dan membanggakan dalam keadaannya sekarang. Bayangkan dengan alutsista terbatas dan gaji seadanya, TNI berhasil mengusir penjajah Belanda yang ingin berkuasa lagi di Indonesia.Â
Sejak kemerdekaan sampai tahun 60an banyak terjadi gangguan keamanan bersenjata di berbagai wilayah Indonesia. DI/TII di Jabar, Ibnu Hajar di Kalimantan, Daud Berueh dan GAM di Aceh, PRRI di Sumatera Tengah dan Permesta di Sulawesi Utara dan RMS di Maluku.Â
Kesemuanya dapat dibasmi oleh TNI secara militer. Pada waktu itu belum ada reformasi bidang kepangkatan TNI. Pangdam yang waktu itu disebut Panglima Teritorium, dijabat seorang TNI berpangkat Letnan Kolonel.Â
PRRI di Sumatera Tengah dipadamkan oleh Letnan Kolonel Ahmad Yani sedang  Permesta di Sulawesi Utara dipadamkan oleh Komodor Ali Sadikin. Kepala Staf Angkatan Darat --KSAD- dijabat seorang TNI berpangkat Kolonel, yaitu AH Nasution. Yang berpangkat jenderal hanya beberapa orang antara lain Panglima Besar Sudirman dan Kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang.
Mangagumkan dalam situasi RI berdiri dalam keadaan goyah itu, petinggi-petinggi TNI masih sangat muda. Suharto yang belakangan menjadi Presiden RI menyandang pangkat Letnan Kolonel dalam usia 26 tahun.Â
Kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang berpangkat Jenderal Mayor (sekarang Mayor Jenderal) dalam usia 30an dan Panglima Besar Sudirman berpangkat Letnan Jenderal juga dalam usia 30an. Kedua tokoh militer itu mengundurkan diri dalam usia belum 40an.
TNI berpolitik?
Mula-mula ya. Panglima Besar Sudirman mengeritik Bung Karno dan Bung Hatta yang bersedia ditangkap Belanda, bukannya lari ikut bergerilya di dalam hutan.
Kembali ke UUD 1945 adalah atas desakan TNI, sehingga Bung Karno menyatakan Dekrit Presiden pada bulan Juli 1959.
Terlibatnya TNI dalam politik itu merupakan keniscayaan sesuai dinamika yang terjadi waktu itu. Selanjutnya terjadi selama masa Orba yaitu dengan hadirnya Fraksi ABRI di DPR.
Dwi Fungsi ABRI
Dwi Fungsi ABRI yerjadi selama pemerintahan Presiden Suharto lebih dari 30 tahun.
Gagasan awalnya berasal dari KSAD AH Nasution yaitu mengikutsertakan TNI untuk memperkuat masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu. Misalnya disuatu daerah konflik, tidak ada masyarakat sipil yang mau menjadi Kepala Desa atau Lurah, maka diangkatlah seorang TNI. ABRI Masuk Desa adalah juga pelaksanaan dari Dwi Fungsi ABRI. Begitu juga pengikutsertaan TNI dalam menanggulangi bencana-bencana alam.
Dwi Fungsi ABRI kemudian berkembang lagi ke bidang pemerintahan. Jika seorang menteri berasal dari kalangan TNI, maka Sekjennya adalah seorang sipil. Sebaliknya jika seorang menteri berasal dari kalangan sipil, maka Sekjennya dari TNI. Ada yang berpendapat, situasi ini disebabkan kekurangpercayaan Presiden Suharto kepada kalangan sipil yang dimasa lalu 'cakar-cakaran' membuat pemerintah jatuh bangun dalam waktu kurang dari setahun. Jadi perlu 'diamankan' dengan menempatkan TNI di posisi-posisi yang strategis.
Dwi Fungsi ABRI kemudian dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid dalam upaya mengembalikan Demokrasi Indonesia ke jalannya yang asli. Ada guyon yang terjadi di kalangan rakyat kecil bahwa Gus Dur tidak takut membubarkan Dwi Fungsi ABRI karena  tidak melihat kemarahan kalangan TNI yang tidak menyetujuinya.
Harapan rakyat
Dalam usianya 77 tahun kini, kita mengharapkan TNI semakin matang dengan tetap memegang teguh semangat perjuangan yang tertuang dalam Sapta Marga Prajurit. Tetaplah membela rakyat, jangan menyakiti apalagi menghilangkan hak-hak rakyat. Hiduplah bersama rakyat dalam arti sederhana, tidak berlebihan, sesuai standar gaji dan penghasilan resmi lainnya.
Dirgahayu TNI ke 77!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI