PRRI di Sumatera Tengah dipadamkan oleh Letnan Kolonel Ahmad Yani sedang  Permesta di Sulawesi Utara dipadamkan oleh Komodor Ali Sadikin. Kepala Staf Angkatan Darat --KSAD- dijabat seorang TNI berpangkat Kolonel, yaitu AH Nasution. Yang berpangkat jenderal hanya beberapa orang antara lain Panglima Besar Sudirman dan Kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang.
Mangagumkan dalam situasi RI berdiri dalam keadaan goyah itu, petinggi-petinggi TNI masih sangat muda. Suharto yang belakangan menjadi Presiden RI menyandang pangkat Letnan Kolonel dalam usia 26 tahun.Â
Kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang berpangkat Jenderal Mayor (sekarang Mayor Jenderal) dalam usia 30an dan Panglima Besar Sudirman berpangkat Letnan Jenderal juga dalam usia 30an. Kedua tokoh militer itu mengundurkan diri dalam usia belum 40an.
TNI berpolitik?
Mula-mula ya. Panglima Besar Sudirman mengeritik Bung Karno dan Bung Hatta yang bersedia ditangkap Belanda, bukannya lari ikut bergerilya di dalam hutan.
Kembali ke UUD 1945 adalah atas desakan TNI, sehingga Bung Karno menyatakan Dekrit Presiden pada bulan Juli 1959.
Terlibatnya TNI dalam politik itu merupakan keniscayaan sesuai dinamika yang terjadi waktu itu. Selanjutnya terjadi selama masa Orba yaitu dengan hadirnya Fraksi ABRI di DPR.
Dwi Fungsi ABRI
Dwi Fungsi ABRI yerjadi selama pemerintahan Presiden Suharto lebih dari 30 tahun.
Gagasan awalnya berasal dari KSAD AH Nasution yaitu mengikutsertakan TNI untuk memperkuat masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas tertentu. Misalnya disuatu daerah konflik, tidak ada masyarakat sipil yang mau menjadi Kepala Desa atau Lurah, maka diangkatlah seorang TNI. ABRI Masuk Desa adalah juga pelaksanaan dari Dwi Fungsi ABRI. Begitu juga pengikutsertaan TNI dalam menanggulangi bencana-bencana alam.
Dwi Fungsi ABRI kemudian berkembang lagi ke bidang pemerintahan. Jika seorang menteri berasal dari kalangan TNI, maka Sekjennya adalah seorang sipil. Sebaliknya jika seorang menteri berasal dari kalangan sipil, maka Sekjennya dari TNI. Ada yang berpendapat, situasi ini disebabkan kekurangpercayaan Presiden Suharto kepada kalangan sipil yang dimasa lalu 'cakar-cakaran' membuat pemerintah jatuh bangun dalam waktu kurang dari setahun. Jadi perlu 'diamankan' dengan menempatkan TNI di posisi-posisi yang strategis.