Bahasan itu sering didiskusikan di forum-forum di tingkat perguruan tinggi atau profesional, namun akan lebih seru jika diterapkan di kelas.Â
Tentu, pertanyaan atau masalah yang diangkat disesuaikan dengan kapasitas guru dan peserta didik sesuai levelnya dan juga bisa dikembangkan dalam suatu media pembelajaran yang menarik (seperti permainan studi kasus dan sebagainya).Â
Kalau di mata pelajaran bahasa Inggris, ada yang namanya teks deskriptif (descriptive text), teks laporan (report text), atau teks eksplanasi (explanation text). Ketiganya memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk melaporkan/menjelaskan sesuatu.Â
Namun, mengapa ketiga teks tersebut dibedakan? Atau pertanyaan seperti "Seberapa penting grammar di dalam kehidupan sehari-hari ?"
Dari situlah mereka akan berpikir dan terdorong untuk mencari sumber informasi dan insight sebanyak-banyaknya dari lingkungan sekitar mereka.Â
Sebenarnya, masih banyak mata pelajaran yang lain yang bisa dikombinasikan dengan kemampuan berpikir kritis.
Menerapkan apalagi membangun mindset berpikir kritis anak bukan perkara mudah. Banyak tantangan yang mesti dihadapi.Â
Sejauh ini, pemerintah sudah menerapkannya melalui penyusunan ujian berbasis Higher Order Thinking Skills (HOTS), seperti dengan diterapkannya AKM (Asesmen Kompetensi Minimum) atau Asesmen Nasional. Namun faktanya, jenis kemampuan berpikir kritis kurang dieksplorasi dan ditanamkan pada anak di kelas.Â
Para peserta didik lebih sering dituntut agar memiliki nilai AKM yang tinggi tanpa dibimbing untuk memahami esensi dari Asesmen Nasional itu sendiri. Apalagi, hal tersebut diperparah dengan kurangnya budaya literasi di masyarakat kita.Â
Peran guru di sekolah penting untuk menanamkan pentingnya berpikir kritis. Ini bisa dimulai dengan mengembangkan media pembelajaran yang autentik dan sesuai dengan realita di kehidupan sehari-hari.Â