Beberapa hari ini rakyat disuguhi sajian demokrasi di salah satu pilar pemerintahan, yakni pemilihan Pimpinan DPR dan pemilihan Pimpinan MPR. Berbeda dengan periode-periode sebelumnya yang adem ayem. Kali ini sangat dinamis, dan perhatian rakyat pun boleh dibilang cukup tinggi. Tentunya kita patut bersyukur, karena semakin tinggi perhatian rakyat pada peristiwa-peristiwa pemerintahan atau kenegaraan, bermakna semakin tinggi pula harapan rakyat kepada para penyelenggara pemerintahan, termasuk kepada para anggota Dewan dan Majelis.
Keingintahuan rakyat akan perkembangan pemilihan Pimpinan DPR dan Pimpinan MPR ini ditanggapi (diakomodasi) dengan baik oleh media masa. Bahkan beberapa media daring mewartakan perkembangan pemilihan ini hampir setiap jam! Apa lagi televisi. Beberapa stasiun televisi menyiarkan secara langsung.
Penulis juga menyimak beberapa pemberitaan mengenai pemilihan Pimpinan di ranah legislatif ini melalui media daring dan media cetak. Beberapa pemberitaan diberi judul yang membuat kita ingin membacanya. Itu memang prinsip penulisan judul berita di media masa. Dari beberapa pemberitaan, muncul judul yang menurut penulis bernuansa "pertandingan/kompetisi".
Judul-judul seperti "Kubu A Akhirnya Mengalahkan Kubu B" atau "Kubu A Sementara Unggul 2-0 atas Kubu B" nampaknya mencerminkan hiruk-pikuk yang terjadi dalam pemilihan tersebut. Judul-judul seperti inilah yang penulis maksudkan sebagai judul yang bernuansa "pertandingan/kompetisi". Periode sekarang ini memang lain, kekuatan politik mengerucut pada dua kubu atau koalisi, bahkan sejak Pemilihan Presiden! Orang Medan pasti ngomongnya gini, "Ini demokrasi, Bung!"
Ya, mungkin inilah demokrasi paling seru dan paling heboh yang pernah kita miliki. Namun demikian, yang seru dan heboh ini paling damai juga. Kita harus bersyukur atas hal ini. Tahun ini kita belajar menjadi insan demokratis yang dewasa. Kita boleh teriak pada dunia, "We're a real democratic Nation, guys!"
Selesai kita berteriak, pastilah muncul berjuta komentar, mengeritik demokrasi kita. Baik itu komentar dari luar negeri maupun dari saudara-saudara kita se-Bangsa se-Tanah Air. Itu sah-sah saja, ini juga bagian dari demokrasi dan kebebasan berpendapat. Namun sah juga kalu kita berteriak seperti itu (*keukeuh, hehehe*).
Kembali kepada judul-judul berita yang bernuansa "pertandingan/kompetisi". Penulis jadi bertanya kepada diri sendiri. Benarkan kubu atau koalisi A menang? Benarkan kubu atau koalisi B kalah? Pun dalam pemilihan presiden, apakah benar pasangan A menang? Apakah benar pasangan B kalah?
Pertandingan apa yang mereka ikuti? Bulu tangkis ganda putra? Apakah pasangan A menang karena lebih ganteng dari pasangan B? Apakah pasangan A menang karena dinilai lebih kompeten dari B? Rekan saya pernah berkata, "Percuma itu debat kandidat, rakyat telah memiliki/menetapkan pilihan masing-masing." Memang belum pernah kejadian juga bahwa dalam setiap pemilihan presiden atau gubernur atau walikota/bupati itu pasti kandidat yang terpandai berdebat pasti memenangi pemilihan.
Ya pasti ada lah pemilih yang kemudian berubah pilihannya setelah menonton debat kandidat atau setelah media mengungkap prestasi atau kekurangan para kandidat. Namun, selama ini, yang menjadi kandidat selalu orang yang telah dikenal luas di masyarakat. Rakyat sudah tau siapa para kandidat ini. Mereka bukan peserta kontes bakat yang baru kita kenal setelah mereka muncul di acara tivi. Bukan, mereka itu para tokoh!
Sekali lagi, mereka itu telah dikenal luas di masyarakat. Karena itu, dari jauh-jauh hari, rakyat telah menentukan pilihannya. Lalu rakyat memilih. Pasangan A mendapat suara/pemilih lebih banyak dari kandidat B. Apakah ada pertandingan di dalammnya sehingga yang memperoleh suara terbanyak bisa dikategorikan menang atau unggul? Kalau Pak Habibie atau Prof. Yohanes Surya lebih unggul dari saya, ya itu benar! Kalau saya balapan dengan Sean Gelllael, ya pasti dia yang menang, dia pemenang.
Begitu pula dalam pemilihan Pimpinan di ranah legislatif. Apakah yang terpilih adalah sekelompok pemenang? Menang dari balapan apa? Memang dari kontes apa? Kontes berbusana terbaik? Tentunya bukan. Mereka yang tidak terpilih juga bukan orang-orang yang kalah. Ini semua ada dalam konteks pemilih terbanyak dan pemilih yang lebih sedikit.
Saya pernah beberapa kali terpilih menjadi ketua kelas. Saya yakin bahwa saya terpilih karena lebih banyak teman yang senang dengan saya ketimbang teman saya yang tidak terpilih, bukan karena kompetensi kepemimpinan saya. Saya terpilih, bukan saya menang atau lebih unggul dari teman yang lain.
Sekarang ini, setelah sekian tahun kami lulus sekolah, beberapa teman yang tidak pernah terpilih menjadi ketua kelas itu telah menjadi perwira menengah di TNI. Mereka beberapa kali menjadi komandan di kesatuan-kesatuan tempat mereka ditugaskan. Jelas sekali mereka (sebetulnya) memiliki kompetensi kepemimpinan yang lebih baik dari saya. Jadi, pemilihan ketua kelas saya dulu itu, saya terpilih, bukan menang atau unggul.
Kesimpulannya, dalam demokrasi, menurut saya, tidak ada yang menang atau kalah. Yang ada adalah mereka yang dipilih lebih banyak orang/pihak dan mereka yang dipilih oleh orang/pihak yang jumlahnya tidak melebihi pemilih pihak lainnya. Jadi, tidak ada istilah menang atau kalah dalam demokrasi. (Mestinya) rakyatlah pemenangnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H