Di sebuah sudut pantai, tampak beberapa orang berkumpul dan salah satunya sedang menyeduh kopi. "Mungkin itu warung kopi," gumamku seraya timbul hasrat untuk ngopi pagi.
"Kopi bang!" Sapaku sambil memesan kopi.
"Berapa? Satu, dua?" Tanyanya.
"Satu aja bang," toh cuma aku yang doyan ngopi.
"Berapa?" Kutanya harganya, maklum kalau di obyek wisata tentu lebih mahal daripada di warkop langganan.
"Ga usah kang, cukup doanya aja biar tambah ramai," dia menolak untuk dibayar kopinya.
Cukup mohon doa restu supaya pantai ini semakin ramai pengunjung, yang berarti berkah buat penduduk setempat.
"Hatur nuhun pisan kang," kuucapkan terima kasih tak hingga karena jarang-jarang dapat suguhan kopi percuma alias gratis di obyek wisata pula.
"Ngomomg-ngomong, sudah berapa lama buka lagi?" Kucoba mulai basa-basi. Ga enak sudah disuguhi kopi langsung ngacir.
"Yach baru satu setengah bukanlah,"
"Sudah mulai ramai ya kayaknya?" Tanyaku lagi.
"Lumayanlah. Awal buka sih sepi, tapi lama kelamaan mulai banyak orang datang."
"Darimana saja kang?"
"Warga lokal, Bandung, Jakarta, malah ada dari Jogja."
"Jauh juga ya. Padahal banyak pantai juga di sana."
"Iya, mungkin pantai di sana belum buka."
Setahu saya sih, sebenarnya sebagian sudah buka juga. Tapi mungkin karena masih ketat atau bisa jadi bosan sehingga mencari pantai yang agak jauh dari kotanya.
Sejenak kami berbincang dengan penjaga pantai yang tampak serius mengawasi pengunjung dari kejauhan. Menurutnya, dampak pandemi ini sangat memukul industri wisata setempat. Hotel dan restoran tutup, nelayan sulit menjual hasil tangkapan ikannya ke luar karena tak ada yang beli sementara akses ke luar daerah dibatasi.
Para penjaga sewa papan selancar, ban terapung, tenda, semua gulung tikar. Ada yang kerja serabutan, ada yang di rumah saja, atau bantu bertani dan mencari ikan di laut. Namun tetap saja seperti ada yang hilang. Biasanya memandu wisatawan sekarang harus banting tulang sambil menunggu godot.
Di sela-sela obrolan, tampak bis-bis wisata mulai berdatangan. Kali ini tidak hanya wisatawan keluarga saja yang mulai bepergian, tapi juga rombongan warga dari kelompok tertentu. Bis wisata yang selama beberapa bulan menganggur akhirnya kembali beroperasi walau belum sepenuhnya pulih.
Pembukaan kembali obyek wisata tentu membawa angin segar tidak hanya bagi wisatawan tapi juga penduduk lokal yang sangat tergantung hidupnya dari bisnis wisata. Hotel dan restoran yang mulai kusam kembali berbenah menyambut datangnya para wisatawan. Pantai kembali ditata dan dibersihkan untuk membuat nyaman wisatawan menikmati liburannya.
Uang kembali berputar, roda ekonomi yang didorong industri wisata mulai bergerak. Berangsur-angsur masyarakat mulai berani keluar rumah untuk bepergian jauh. Terlihat mulai dari libur panjang Idul Adha hingga cuti bersama tahun baru Hijriyah, jalan tol macet total. Berbondong-bondong orang pulang kampung sambil berwisata sebagai pengganti lebaran Idul Fitri yang dilakukan di rumah saja.
Hal lain yang juga patut disyukuri, pertambahan kasus dan tingkat kematian cenderung konstan, tidak melonjak tinggi sebagai akibat dari pergerakan manusia. Tingkat kesembuhan juga semakin tinggi dan kasus aktif mulai stabil kurvanya. Ini tentu pertanda baik yang harus dijaga dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Gas sudah mulai kencang, tinggal kecepatan perlu dijaga agar tidak melampaui batas. Sesekali perlu direm tapi jangan mendadak agar tidak ambrol barang bawaan di belakang. Ekonomi sudah mulai pulih, kesehatan juga mulai terkendali. Jangan lagi benturkan keduanya, tapi sinergikan bersama-sama.
Hujan mulai turun, pertanda rezeki melimpah di depan mata. Kamipun mulai menepi, berteduh sambil ngopi kembali. Kali ini di sebuah warung tak jauh dari tepi pantai dan tak lagi gratis seperti tadi. Senyum penjaga warung semakin lebar menyambut pembeli yang tiba setelah kami. Kantong yang selama ini kering kerontang mulai kembali terisi pundi-pundi.
Resesi atau bangkit, semua tergantung kebijakan pemerintah. Rakyat sudah mulai bergerak, tinggal pemerintah mengendalikan gas dan remnya. Fakta membuktikan, lockdown tidak membuat virus musnah, malah sebaliknya nyaris membuat ekonomi punah. Semua memang ada resikonya, tinggal hitung lebih besar mana manfaat dan mudharatnya.
Tak terasa, kopi mulai dingin, hujan berangsur reda, tinggal rintik-rintik menyisakan asa agar tetap survive di tengah pandemi. Kamipun kembali ke penginapan bersiap untuk kembali pulang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H