"Lumayanlah. Awal buka sih sepi, tapi lama kelamaan mulai banyak orang datang."
"Darimana saja kang?"
"Warga lokal, Bandung, Jakarta, malah ada dari Jogja."
"Jauh juga ya. Padahal banyak pantai juga di sana."
"Iya, mungkin pantai di sana belum buka."
Setahu saya sih, sebenarnya sebagian sudah buka juga. Tapi mungkin karena masih ketat atau bisa jadi bosan sehingga mencari pantai yang agak jauh dari kotanya.
Sejenak kami berbincang dengan penjaga pantai yang tampak serius mengawasi pengunjung dari kejauhan. Menurutnya, dampak pandemi ini sangat memukul industri wisata setempat. Hotel dan restoran tutup, nelayan sulit menjual hasil tangkapan ikannya ke luar karena tak ada yang beli sementara akses ke luar daerah dibatasi.
Para penjaga sewa papan selancar, ban terapung, tenda, semua gulung tikar. Ada yang kerja serabutan, ada yang di rumah saja, atau bantu bertani dan mencari ikan di laut. Namun tetap saja seperti ada yang hilang. Biasanya memandu wisatawan sekarang harus banting tulang sambil menunggu godot.
Di sela-sela obrolan, tampak bis-bis wisata mulai berdatangan. Kali ini tidak hanya wisatawan keluarga saja yang mulai bepergian, tapi juga rombongan warga dari kelompok tertentu. Bis wisata yang selama beberapa bulan menganggur akhirnya kembali beroperasi walau belum sepenuhnya pulih.
Pembukaan kembali obyek wisata tentu membawa angin segar tidak hanya bagi wisatawan tapi juga penduduk lokal yang sangat tergantung hidupnya dari bisnis wisata. Hotel dan restoran yang mulai kusam kembali berbenah menyambut datangnya para wisatawan. Pantai kembali ditata dan dibersihkan untuk membuat nyaman wisatawan menikmati liburannya.
Uang kembali berputar, roda ekonomi yang didorong industri wisata mulai bergerak. Berangsur-angsur masyarakat mulai berani keluar rumah untuk bepergian jauh. Terlihat mulai dari libur panjang Idul Adha hingga cuti bersama tahun baru Hijriyah, jalan tol macet total. Berbondong-bondong orang pulang kampung sambil berwisata sebagai pengganti lebaran Idul Fitri yang dilakukan di rumah saja.