Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Haji di Era New Normal, Saatnya Memotong Antrean Panjang

27 Mei 2020   21:39 Diperbarui: 28 Mei 2020   04:46 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua bulan lagi musim haji dimulai, dan kloter pertama seharusnya sudah berangkat pertengahan Juni nanti. Namun sampai hari ini belum ada tanda-tanda Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dibuka untuk perhelatan akbar tahunan ini. Penggunaannya masih terbatas termasuk saat merayakan Idul Fitri kemarin.

Bisa jadi musim haji tahun ini ditiadakan, atau dikurangi kuotanya untuk membatasi kapasitas jemaah yang selama ini berjumlah sekitar 2,5 juta orang tiap tahunnya.

Berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, rata-rata usia jemaah haji di atas 50 tahun terutama yang berasal dari luar Arab Saudi dan negeri Timur Tengah lainnya. Zaman saya pergi haji tahun lalu, sekitar 80% dari jamaah Indonesia berusia di atas 50 tahun, 15% di atas 40 tahun, dan hanya 5% di bawah 40 tahun. 

Itu pun sudah menunggu antrean rata-rata selama 7-8 tahun yaitu yang mendaftar antara tahun 2011 hingga 2012 awal. Mulai 2012 tengah hingga seterusnya antrean mulai panjang, bahkan sekarang hingga 20 tahun.

Mengingat usia jemaah yang sudah tua, rata-rata mereka membawa komorbid (istilah keren sekarang untuk mendampingi Covid-19) entah itu diabetes, jantung, paru-paru atau pneumonia, darah tinggi, dan sebagainya. 

Apalagi di Arab rentan penyakit flu, MERS, dan meningitis sehingga harus disuntik minimal vaksin meningitis, kadang ditambah influenza, untuk mencegah sakit saat melaksanakan ibadah haji. Selain itu setiap jamaah dibekali masker untuk melindungi diri dari debu dan penularan penyakit lewat udara alias aerosol.

Benar saja, sampai di Arab, apalagi setelah menjalani rukun haji yang wajib, para jemaah mulai batuk-batuk, pilek, flu, demam tinggi. Penyakit muncul karena beratnya beban fisik saat melaksanakan ibadah terutama tawaf dan sa'i yang harus berjalan kaki sejauh 5-7 kilometer sekali putaran (Tawaf 7 kali keliling Ka'bah dan Sa'i 7 kali Safa-Marwa). 

Belum lagi jarak dari terminal ke area Ka'bah sekitar 3-4 kilometer jauhnya. Jadi untuk menghemat tenaga, kadang para jemaah selesai shalat wajib tidak langsung kembali ke hotel, tapi tirakat di dalam masjid atau cuci mata di mal terdekat.

Karena banyak jamaah yang berusia tua, yang muda terpaksa harus siap sedia mengawal. Bayangkan ketika yang berusia muda harus menopang yang berusia tua, jumlahnya jelas tak sebanding. Kita yang muda kadang harus sering mengalah, menunggu yang tua selesai ibadah, baik tawaf maupun sa'i. 

Kadang kalau sudah ada petugas kloter, kami tinggalkan saja mereka, biar diurus petugas tersebut sampai pulang. Apalagi pas lempar jumroh, yang muda merangkap jadi 'tukang sapu' di barisan belakang untuk menjaga para orang tua bila sewaktu-waktu butuh pertolongan.

Untunglah yang sakit jumlahnya tak terlalu banyak sehingga masih bisa ditangani oleh tim medis. Ibadah relatif lancar walau akhirnya pada bertumbangan satu demi satu, tapi karena kami kloter terakhir jadi kewajiban haji sudah selesai semua dilaskanakan sebelum sakit menyerang. 

Hanya saya dan satu dua orang lain saja yang alhamdulillah hingga pulang tidak sakit sedikitpun. Bahkan yang muda saja juga ikutan sakit, karena merasa kuat sehingga sering memaksakan diri ibadah tiap hari tanpa henti.

* * * *

Pandemi corona seolah mengingatkan kita bahwa kewajiban haji bukan sekedar mampu secara materi saja, tapi juga secara fisik harus prima. Di masa datang, jamaah haji harus dibatasi usia dan kesehatannya.  Hal ini untuk mengurangi panjangnya antrian yang sudah mencapai 20 tahun, bahkan ada daerah yang waktu tunggunya sampai 30 tahun. Sayang kan waktu daftar masih muda, tapi saat pergi sudah di atas 50 tahun karena terlalu lama menunggu.

Mulai tahun 2021, jamaah haji yang berusia di atas 50 tahun diperketat seleksinya dan diperiksa kesehatannya. Mereka yang sudah memiliki komorbid dilarang untuk berangkat haji dan dikembalikan uangnya secara penuh. 

Kuota untuk orang tua dikurangi, dan untuk anak muda yang sehat ditambah sehingga terjadi keseimbangan dalam satu kloter, minimal 40% di atas 50 tahun dan 60% di bawah 50 tahun. Hal ini untuk menjaga kenyamanan beribadah terutama bagi yang muda agar tidak terganggu harus menjaga yang tua dan sakit-sakitan, serta mempermudah petugas untuk mengontrol mereka yang sakit.

Di sana, sebelum corona saja sudah berbagai virus dan bakteri berkumpul yang dibawa jutaan orang dari seluruh penjuru dunia. Apalagi sekarang ditambah virus SARS-COV2, tambah panjang lagi urusannya. 

Jadi orang yang pergi haji sekarang harus benar-benar kuat antibodinya dan kebal terhadap segala jenis virus dan bakteri. Hanya mereka yang kuatlah yang selamat tanpa sakit sampai kembali ke rumah. Jadi pemerintah harus lebih selektif lagi menentukan jamaah haji yang boleh berangkat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun