Tak terasa sudah 65 hari bekerja di rumah sejak 16 Maret 2020, sementara PSBB sudah memasuki fase ketiga di DKI Jakarta atau sudah 42 hari berjalan dan akan diperpanjang 14 hari ke depan. Sebagian masyarakat sudah mulai bosan #dirumahaja dan mulai meramaikan jalanan sejak awal puasa tiba. Apalagi menjelang lebaran ini, arus mudik yang sudah dimulai sejak awal April semakin meningkat sehingga cukup merepotkan petugas memilah man yang mudik atau pulang kampung.
Waktu awal diterapkannya himbauan yang berlanjut dengan PSBB, masyarakat relatif masih patuh yang ditunjukkan dengan jalanan yang tidak terlalu ramai dan toko-toko banyak yang tutup. Namun seiring berjalannya waktu PSBB mulai tampak longgar. Masyarakat mulai berduyun-duyun turun ke jalan, meramaikan pusat perbelanjaan, ngabuburit, bahkan sampai balapan motor segala!!
Lalu, apakah masyarakat kurang sosialisasi? Rasaya sudah terlalu banyak sosialisasi bahkan berita-berita yang cenderung menakutkan tentang covid-19 baik di media mainstream maupun medsos. Buktinya, mereka tolak jenazah pasien Covid-19 yang meninggal dunia, nakes diusir dari kos-kosannya, tetangga ramai-ramai mengusir penderita Covid-19 dari kampungnya. Kalau mereka kurang sosialisasi tentu mereka cuek aja berhadapan dengan penderita Covid-19.
Kemudian, kenapa mereka tidak takut? Orang Indonesia kalau belum merasakan sendiri, belum kena tonjok langsung ga bakalan merasa takut. Selama belum ada ambulans wira wiri di depan rumahnya, atau melihat truk pengangkut peti jenazah terlantar di jalanan, atau menyaksikan sendiri orang-orang berjatuhan sekaligus karena covid-19, ga bakalan ada rasa cemas di hati mereka. Lha wong yang di McD Sarinah dan bandara sudah seminggu ini baik-baik saja, tidak ada kluster baru. Jadi ada yang harus dikuatirkan?
Mengharapkan pemerintah tegas, rasanya koq berat. Pertama, anggaran terbatas, siapa yang sanggup ngasih makan penduduk yang kelaparan karena tidak ada kerja selama lebih dari dua bulan. Belum lagi potensi korupsi dan salah sasaran bantuan yang begitu besar. Kedua, jumlah aparat terbatas, hanya sanggup menjaga pintu-pintu batas kota di tempat yang strategis saja. Padahal banyak jalan tikus yang bisa dilalui keluar masuk Jakarta. Razia juga paling sesekali saja, patrolipun paling ke daerah tertentu saja yang dianggap strategis untuk berkumpul.
Pada akhirnya percuma saja PSBB diberlakukan. Pembatasan hanya terjadi di pintu tol atau jalan arteri saja yang menyekat orang-orang keluar masuk Jakarta. Penutupan toko dan mall hanya terlihat di pusat kota dan jalan-jalan protokol saja. Sementara di daerah pinggiran, di kampung-kampung, semua berjalan normal seperti biasa. Bahkan tiap sore jalanan ramai orang ngabuburit setiap hari, dan sampai hari ini relatif aman-aman saja. Apalagi menjelang lebaran orang beramai-ramai mengunjugi pusat perbelanjaan untuk beli baju lebaran. Jadi daripada berdebat PSBB perlu dilonggarkan atau tidak, lebih baik cari strategi baru mengatasi penyebaran virus corona ini.Â
* * * *
Selama dua bulan di rumah saja, saya jadi sering buka-buka yutub dan menonton podcast tokoh-tokoh terkenal. Salah satu tokoh yang dinanti-nanti untuk podcast adalah Mardigu WP, sosok misterius di balik layar kanal yutub Bossman Mardigu. Beliau sering membahas konsep geopolitik dan geoekonomi di kanalnya, memancing-mancing rasa nasionalisme yang sudah mulai luntur, dan memprovokasi pemirsanya untuk bangkit maju begerak untuk mandiri sesuai kemampuan masing-masing.
Akhirnya setelah dua bulan menunggu, muncullah sosok yang ditunggu-tunggu tersebut. Pertama beliau muncul di podcastnya Helmy Yahya. Di sini seperti biasa beliau memancing kita untuk berpikir pentingnya geopolitik bagi Indonesia di mata dunia. Namun pada penampilan pertama ini lebih banyak cerita nostalgia beliau di Amerika bersama host Helmy Yahya yang kebetulan sesama alumni dari sana. Soal Covid-19 sempat disinggung sedikit, namun berkisar sumber virusnya saja.
Penampilan beliau makin seru justru ketika diwawancarai oleh Deddy Corbuzier. Disinilah Mardigu mulai membuka mata kita bagaimana strategi menjinakkan virus corona tersebut. Menurut beliau, strategi yang harus dilakukan adalah membuat koefisien golongan mana saja yang rentan terhadap penularan virus tersebut. Beliau ambil contoh petakan siapa yang bisa berenang (survive) dan tidak bisa berenang (tidak bisa survive). Pisahkan mereka, biarkan yang bisa berenang tetap beraktivitas, yang tidak bisa berenang selamatkan atau lindungi.
Caranya, ambil data post mortem untuk pasien yang meninggal dan ante mortem untuk pasien yang dirawat, lalu ketemu deltanya. Sebagai contoh ternyata 98% yang meninggal itu ternyata penderita panu (ingat, ini cuma misal lho!!), maka dipetakan siapa saja yang panuan dan pisahkan mereka dari kelompok besar yang selamat. Mereka yang terkena panulah yang dibawa ke rumah sakit, agar tidak membuat penuh faskes yang ada. Sementara mereka yang selamat bisa tetap beraktivitas seperti biasa dengan mematuhi protokol kesehatan seperti menggunakan masker, menjaga jarak fisik, dan sebagainya.
Pemerintah juga seharusnya lebih sering mensosialisasikan humanity-nya, misalnya kampanye tentang olahraga, makanan sehat, berjemur untuk memperoleh vitamin D. Menurut Deddy berdasarkan penelitian Dr. Rhonda Patrick, sebagian besar pasien Covid-19 yang meninggal disebabkan oleh kekurangan vitamin D. Jadi salah satu cara untuk berperang dengan virus corona, tingkatkan asupan vitamin D dengan cara berjemur di bawah terik matahari.
Oleh karena itu daripada anggaran dihabiskan buat bansos dan PSBB, lebih baik alihkan buat pemetaan kerentanan pasien Covid-19, riset vaksin Covid-19 dan produksi massal, serta isolasi orang-orang yang rentan tertular virus. Indonesia harus ambil kesempatan untuk menemukan vaksin yang khas daripada menunggu dari Amerika atau negara lain yang belum tentu sama strainnya.
Saya tidak mengatakan pendapatnya benar atau salah, namun bisa dipertimbangkan mengingat kondisi masyarakat Indonesia yang majemuk termasuk perilakunya dan sulitnya PSBB diterapkan. Setiap negara punya ciri khas sendiri yang belum tentu bisa dipraktekkan di negara lain. China, Malaysia, Vietnam, boleh saja bangga telah berhasil melalui badai corona, tapi strategi mereka belum tentu tepat diterapkan sepenuhnya di Indonesia. Siapa tahu strategi ini berhasil, masyarakat bisa tetap beraktivitas seperti biasa, sementara yang rentan terlindungi dengan baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H