Mohon tunggu...
Dizzman
Dizzman Mohon Tunggu... Freelancer - Public Policy and Infrastructure Analyst

"Uang tak dibawa mati, jadi bawalah jalan-jalan" -- Dizzman Penulis Buku - Manusia Bandara email: dizzman@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Derita Sopir Taksi Saat Wabah Corona Melanda Negeri

22 Maret 2020   19:51 Diperbarui: 24 Maret 2020   20:13 3021
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu saya baru saja kembali dari perjalanan dinas dengan pesawat udara, dan menghadapi pemandangan cukup mengagetkan ketika keluar pintu bandara menuju ke parkiran taksi. Saya melihat dengan mata kepala sendiri taksi biru berjajar menanti penumpang, bersama dengan taksi warna lainnya. 

Biasanya kami para penumpanglah yang mengantri taksi, terutama berwarna biru selepas mendarat di bandara Soetta, bahkan rela hingga satu jam menanti. Sekarang benar-benar terbalik kondisinya, justru mereka yang menunggu kami dengan harapan masih menggunakan jasanya.

Sayapun langsung disergap beberapa petugas taksi yang kebingungan mencari penumpang. Akhirnya saya pilih taksi warna putih karena merekalah yang sebenarnya termasuk sulit mendapatkan penumpang dibanding si biru. Begitu masuk taksi sayapun langsung bertanya pada pak supir apa yang sebenarnya terjadi.

"Sudah lama nunggu pak? Tumben si biru ngantri panjang?" tanya saya.

"Alhamdulillah, saya dari jam empat sore kemarin, baru jam sepuluh pagi ini dapat penumpang Bapak." jawab pak supir.

"Haaaa?" Mata sayapun terbelalak mendengar jawaban beliau.

"Kemarin saja saya cuma dapat satu penumpang dari Halim, lalu coba cari peruntungan di Soetta, siapa tahu ada rezeki. Lha baru pagi ini rezeki datang," tukasnya.

"Jadi benar-benar sepi pak?"

"Ya begitulah. Ada satu penumpang saja mampir di pembantaran taksi sudah syukur,"

"Jadi bapak menginap di bandara?"

"Iya pak, sama seperti yang lain."

Astaghfirulloh. Air mata langsung menetes mendengar keluh kesah beliau. Kebayang betapa sulitnya mencari penumpang di saat seperti ini. Hari biasa saja mereka sudah bersaing dengan ojek online, apalagi pada kondisi sekarang ini. Benar-benar mengerikan melihat dampak langsung dari wabah corona yang sedang melanda negeri ini.

Dampaknya tak sekedar banyaknya jumlah korban yang sakit dan meninggal, tetapi juga merambat pada menurunnya kegiatan ekonomi yang berimbas pada berkurangnya pendapatan secara signifikan terutama pada masyarakat yang penghasilannya bergantung pada konsumen seperti supir taksi, ojol, dan usaha kecil lainnya.

Kebijakan untuk merumahkan siswa dan para pekerja juga berdampak langsung pada menurunnya penghasilan para pengemudi ojol baik roda dua maupun roda empat. 

Saat saya berada di sebuah kota kecil, supir taksi online mengeluhkan menurunnya pendapatan akibat libur sekolah dan orang kerja. Biasanya dia dapat order mengantar anak sekolah pagi hari dan pulang kerja di sore hari, namun beberapa hari terakhir nyaris tak ada order dari langganannya, hanya tamu-tamu selintas seperti saya ini.

Demikian juga dengan supir rental harian, biasanya mereka selalu kebagian mengantar tamu setiap hari. Sekarang baru saya saja yang mengambil ordernya setelah beberapa hari off akibat di-cancel para pelanggan yang sudah memesan namun tak jadi berangkat. 

Bahkan order ke Jogja dan Malangpun dibatalkan karena obyek wisatanya tutup sehingga konsumen terpaksa menunda liburannya dan membatalkan sewa mobilnya.

Selain taksi online dan offline, beberapa pedagang oleh-oleh terutama yang biasanya ramai dikunjungi konsumen luar kota sudah tutup mulai hari Senin kemarin.

Mereka dihimbau untuk tutup oleh pemerintah setempat untuk menghindari penyebaran virus corona akibat berdesakan di tempat yang sempit. Sayapun terpaksa mengetuk pintu toko di sebelahnya yang juga ikutan tutup, namun masih membuka toko bila dipencet belnya dan hanya melayani sedikit orang saja.

Lagi-lagi, setiap ada peristiwa seperti ini, orang kecil seperti merekalah yang menjadi korban pertamanya. Orang-orang gajian seperti saya mungkin masih bisa bertahan hidup karena pendapatannya relatif tetap, tapi bagaimana dengan mereka yang mengandalkan hidupnya pada konsumen yang tidak tentu datangnya. 

Kita tak bisa hanya bilang mari berkorban demi mempercepat hilangnya wabah, karena mereka sudah terlalu banyak berkorban untuk kita yang berpenghasilan tetap.

Bersyukurlah ada upaya berbagai pihak untuk menolong mereka seperti memesan makanan online untuk mereka, melebihkan pembayaran jasa taksinya, dan berbagai upaya lainnya untuk sekedar melepas beban berat sementara waktu. 

Namun diperlukan upaya jangka panjang untuk menyelamatkan mereka dari krisis yang sudah bisa dikatakan multidimensi ini agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan melanda negeri ini. 

Virus corona tidak hanya menyerang manusia saja, tetapi juga roda perekonomian dunia termasuk negeri ini. Korbannya tidak hanya penderita tetapi juga masyarakat kecil yang menggantungkan hidupnya pada orang-orang kaya yang mempekerjakan mereka. 

Penyelesaian masalahnya harus komprehensif, tidak sekedar menyembuhkan penderita dan melokalisasi wilayah terdampak alias lockdown saja. Jangan sampai hanya karena fokus pada penanganan wabah virus corona, dampak multidimensinya terabaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun