Pemerintah sekarang terus berusaha mencari terobosan baru untuk meningkatkan pendapatan negara mengingat kondisi keuangan negara yang selalu defisit tiap tahunnya.Â
Apalagi dengan kebijakan pembangunan infrastruktur yang demikian gencar menyebabkan kas negara semakin terkuras dan hutang semakin menumpuk, walau tak seluruhnya dibiayai oleh pemerintah.
Hutang yang nyaris menggapai angka 5000 Trilyun Rupiah tentu merupakan angka yang sangat fantastis walau katanya masih sepertiga dari PDB yang berarti masih masuk dalam kategori aman.Â
Sementara, di sisi lain penerimaan dari sektor pajak selalu tak mencapai target sehingga harus ditutupi dengan hutang lagi untuk menutup defisit anggaran.
Oleh sebab itu perlu ada terobosan untuk meningkatkan pemasukan negara, salah satunya dengan melirik pajak untuk setiap transaksi online yang selama ini seolah luput dari perhatian.Â
Sektor ini cukup menggiurkan karena semakin banyak transaksi yang menggunakan aplikasi online tetapi seolah belum tersentuh pajak karena aturan pajak saat ini belum mengakomodasi hal tersebut.
Sebenarnya hal ini merupakan ide bagus sebagai sebuah terobosan untuk mempertebal kas negara yang semakin tipis.Â
Walau nilai transaksinya boleh dibilang 'receh' tapi kalau diakumulasi jumlahnya bisa milyaran bahkan trilyunan rupiah. Tentu jumlah yang sangat menggiurkan di tengah seretnya pemasukan ke kas negara.
Namun sebelum melangkah lebih jauh, pemerintah seharusnya membuat kajian mendalam terlebih dahulu, terutama item apa saja yang harus dikenakan pajak online. Jangan sampai timbul pengenaan pajak ganda alias dua kali pengenaan pajak terhadap barang yang sama karena dibeli secara online.
Rata-rata atau sebagian besar toko online juga punya toko offline atau menjual barang dengan harga yang sebenarnya sudah termasuk pajak. Misalnya kita pesan makan via aplikasi, harganya sama dengan harga beli di tempat yang sudah termasuk pajak.Â
Demikian pula dengan tiket bis atau kereta api, harganya sama dengan beli on the spot. Apalagi tiket pesawat, jelas-jelas sudah tertera dikenakan pajak.
Pajak online baru bisa dikenakan pada item yang belum dikenakan pajak, misalnya beli tahu goreng di warung angkringan yang memang tidak dikenakan pajak, barulah bisa diterapkan pengenaan pajaknya.Â
Namun bagi penjual atau retail yang telah mengenakan pajak pada item yang dijualnya tentu tidak bisa dipajaki lagi karena akan timbul pengenaan pajak berganda seperti judul di atas.
Kalau pemerintah ingin menerapkan pajak khusus transaksi online di luar ppn yang telah ditambahkan pada setiap item pembelian, sama saja dengan mendorong orang untuk kembali bertransaksi secara offline.Â
Hal tersebut menjadi sebuah kemunduran karena akan mendorong orang kembali menggunakan uang tunai untuk bertransaksi. Tentu ini bertentangan dengan keinginan pemerintah yang justru ingin mengurangi transaksi secara tunai.
Jadi pemerintah perlu meneliti kembali mana saja item yang belum dikenakan pajak sehingga bisa dipungut saat transaksi online, baru dibuat aturannya untuk menghindari pajak berganda yang dikenakan atas item tersebut.Â
Oleh karena itu, jangan sampai masyarakat dirugikan karena harus membayar pajak dua kali untuk item yang sama dalam satu kali transaksi.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, alangkah lebih baik pemerintah mengejar para pengemplang pajak dan menindak oknum yang bermain mata dengan pengusaha besar untuk mengurangi setoran pajaknya ketimbang mengurusi hal remeh temeh seperti ini.Â
Selama perilaku aparat belum berubah, percuma saja transaksi pajak online diberlakukan karena akan menimbulkan modus kongkalingkong baru yang memperkaya oknum aparat ketimbang menambal keuangan negara yang semakin bocor ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H