Tak terasa hari ini merupakan hari ke-100 kabinet Indonesia Maju bekerja. Beberapa menteri sudah ngegas seperti Menteri BUMN Erick Thohir dan Mendikbud Nadiem Makarim.Â
Pekerjaan infrastruktur yang digawangi Menteri PUPR pun sudah mulai ngebut untuk mengejar target terutama menjelang kepindahan ibukota ke wilayah Kaltim.
Namun sayangnya perseteruan kubu kampret dan cebong tak kunjung reda. Polemik yang terjadi antara Anies Baswedan dengan Jokowi beserta para menterinya seperti terus dipelihara.Â
Polemik pertama tentu penanganan masalah banjir yang tak pernah tuntas sejak zaman dulu kala, bahkan semakin menghebat kala hujan lebat mengguyur ibukota setengah hari penuh.
Polemik yang awalnya terjadi antar dua kubu capres bergeser menjadi Anies vs Jokowi setelah Prabowo merapat masuk dalam kabinet. Perseteruan tetap dipelihara antara kubu penguasa dengan kubu oposisi, hanya berubah tokoh sentralnya saja.Â
Sosok Anies dianggap tepat untuk head to head melawan Jokowi, sekaligus curi start menjelang pilpres 2024 karena di kubu penguasa belum ada tokoh yang ditonjolkan untuk maju sebagai capres.
Pertempuran dimulai dengan saling tuding antara Anies dengan Basuki yang notabene mewakili Jokowi terkait naturalisasi vs normalisasi kali Ciliwung yang ditengarai menjadi penyebab banjir tak kunjung surut.
Anehnya polemik tersebut tampak dibiarkan bahkan semakin dibakar oleh para netizen di kedua kubu. Bahkan ketika tampil di mediapun mereka berdua terang-terangan saling tunjuk satu sama lain siapa yang paling bertanggung jawab atas penanganan Ciliwung.
Belum reda kasus banjir, muncul kasus pemotongan pohon di Monas. Lagi-lagi Anies kembali berseteru dengan Basuki mengenai siapa yang lebih berwenang menata Monas.Â
Mensesnegpun ikut-ikutan dengan mengatakan bahwa penataan Monas termasuk dalam wewenangnya dan Gubernur harus berkoordinasi terlebih dahulu sebelum bertindak.
Masing-masing pihak seolah berlomba unjuk kewenangan bila menguntungkan pihaknya dan saling melempar kewenangan bila merugikan. Tampak tidak ada keinginan untuk bersinergi membangun bersama antara pemerintah pusat dengan daerah.Â
Ego sektoral masih terasa sekali menonjol. lebih dalam lagi ambisi pribadi lebih dikedepankan daripada koordinasi.
Polemik berikutnya adalah presiden lawan KPK terkait isu pelemahan KPK dan kasus menghilangnya aleg PAW partai penguasa. KPK versi lama seolah dikebiri wewenangnya oleh kehadiran dewan pengawas yang dibentuk berdasarkan UU KPK yang baru.Â
Dampaknya mulai terasa ketika KPK versi baru bergerak, salah seorang tersangka sulit untuk ditangkap karena harus melalui prosedur laporan ke dewan pengawas.Â
Bahkan Menkumham malah jadi salah satu anggota tim hukum partai penguasa dengan alasan karena merangkap jabatan sebagai ketua DPP Bidang Hukum dan HAM.
Walau tak sekencang isu Anies vs Jokowi, namun polemik ini tentu akan mengganggu kinerja pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Pemerintah seolah ingin melindungi partai berkuasa dari terpaan isu korupsi.Â
Apalagi bila pegawai KPK nanti masuk dalam struktur ASN alias diangkat menjadi PNS, maka secara otomatis akan menjadi aparatur pemerintah. Lalu apa gunanya KPK kalau sejajar dengan penegak hukum lainnya?
Terakhir, polemik penghapusan kebijakan penenggelaman kapal oleh pemerintah baru yang membuka perseteruan dengan mantan menteri pada pemerintah sebelumnya.Â
Di sini tampak bahwa kebijakan mudah sekali berubah-ubah tergantung siapa di belakangnya, bukan sistem yang berjalan sebagaimana mestinya. Padahal presidennya masih sama, hanya berganti menteri saja.Â
Kebijakan menteri lama seolah tiada guna sama sekali, dan dampaknya para pencuri ikan kembali beraksi di perairan Indonesia, bahkan dikawal penjaga pantai negerinya.
Polemik yang dipelihara secara terang benderang ini tentu memalukan. Alih-alih bekerja sama bahu membahu membangun negeri, ini malah berseteru saling menghancurkan satu sama lain.Â
Alangkah sayangnya 100 hari pertama kerja kabinet Indonesia Maju dipenuhi dengan berbagai polemik. Kepentingan pribadi dan golongan kembali dikedepankan, kebijakan yang sudah baik malah mundur kembali ke masa lalu.
Semua pihak sekarang hanya menatap pilpres 2024 tanpa peduli apapun hasil kerja kabinet sekarang. Polemik demi polemik terus dihadirkan hanya untuk kepentingan lima tahunan semata.Â
Inilah cermin buruknya koordinasi antar pemerintah yang berbasis partai politik, selama kepentingan tak sama maka perseteruanlah yang dikedepankan.Â
Lelah rasanya membaca media setiap hari yang isinya hanya polemik. Media hanya mengejar bad news is good news tanpa mempertimbangkan dampaknya di masa datang.Â
Perpecahan sudah di ambang mata, dan media turut berperan besar mengobarkan perpecahan tersebut. Indonesia mungkin takkan bubar, tapi hati penduduknya sudah terpecah dua kubu yang tak jelas arah tujuannya kecuali hanya kepentingan berkuasa saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H